Jumat, 25 Mei 2012

Perkelaian Pelajar dan Kekerasan di Sekolah


Aksi guru di depan kelas dengan memukulkan penghapus kayu di papan tulis hingga siswa kaget, memukulkan penggaris kayu di meja hingga hancur berkepin-keping, mendobrak meja siswa hingga siswa seluruh kelas terperanjat, membentak siswa dengan kata-kata kasar, mebenturkan pintu kelas, memukul siswa dengan buku, menempeleng muka siswa, mengusir siswa keluar kelas, menghukum siswa dengan hukuman phisik, dan menghina keadaan siswa baik hinaan phisisk maupun non phisik.

Di bulan pebruari 2009, telah beredar video kekerasan pelajar di 3 daerah yaitu perkelaian siswa SMP di Jawa-Barat, perkelaian dua siswa SLTA di Gorontalo dan yang terakhir perkelaian 2 siswi di  Timika Papua yang difasilitasi oleh gurunya. Namun kita tentu masih ingat perkelaian siswi-siswi SLTA  di Pati yang terkenal dengan nama Geng Nero.

Apa ada yang salah, Kurikulun Pendidikan Nasional…?
Sekolah mestinya tempat belajar, berteman, bermain, mengembangkan kreativitas dan untuk mamahami jati diri.  Tuntutan orang tua agar anaknya selalu juara kelas, tuntutan gurunya agar semua siswanya menjadi penurut dan bernilai bagus, tuntutan kepala sekolah agar siswanya lulus 100%. Disekolah tak ubahnya seperti kamp penampungan sandra, siswa di paksa menuruti kehendak guru, beban pelajaran yang terlalu banyak dan berat serta system pembelajaran yang otoriter dan represif.

Kondisi ekonomi Negara yang morat-marit, memicu orang tua siswa untuk kerja keras dan dalam rangka emansipasi bagi seorang ibu, menjadikan orang tua siswa menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada pihak sekolah. Seakan yang menentukan watak dan sikap adalah sekolah. Siswa disekolah hanya beberapa jam, sementara orang tua dirumah jarang ketemu anaknya. Rumah tak terlalu beda dengan halte bus, tempat bertemu dan bercengkrama sementara antara bapak, ibu dan anaknya.

Tak dipungkiri bahwa kemajauan teknologi informasi seperti HP, TV, Internet dan media masa lainnya sangat mempengaruhi perubahan watak pelajar. Pelajar metropolitan dan pelajar daerah terpencil tak ada bedanya. Kecepatan media informasi begitu mudah menyebar ke segala lapisan masyarakat, dan tingkat kemampuan filter sangat beragam. Hal ini menjadikan hasil terjemahan informasi yang berbeda-beda. Orang tua yang mestinya membantu menterjemahkan informasi, malahan orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada anaknya sendiri atau kepada pembantunya.

Menurut Prof. Kurt Singer dari Universitas Munchen Jerman, fenomena ini sebagai “Sekolah Sakit”. Sekolah sebagai alat sensor, guru selalu mengawasi dengan tanpa batas etika-psikologis, perintah sekolah menjadi dictator dan mematikan bakat, sekolah menjadi pengadilan yang penuh hukuman, sehingga siswa menjadi ketakutan dan penuh ancaman. fenomena ini disebut Kurt Singer sebagai Schwarzer Paedagogik atau Pedagogi Hitam (Sindhunata, 2001). (Suara Merdeka, 19 Juni 2008).

Guru yang belum bisa menikmati kesejahteraannya sebagai guru, namun beban kerja sangat berat. Guru yang mendapat tugas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan membentuk watak, mengajari membaca, mengajari berpikir, melatih kreativitas, namun belum mendapatkan penghargaan layak secara materi. Bahkan guru yang masih honor, penghasilannya sangat jauh di banding upah UMR buruh pabrik. Gaji yang sangat kecil, masih ada potongan-potongan yang tidak jelas peruntukannya. Penghargaan yang lebih mulia bagi guru adalah gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, tetapi penghargaan ini tidak membuat perut guru dan keluarganya menjadi kenyang.



















Guru Buta Undang Undang Sisdiknas


Pemerintah menyelenggarakan suatu sistim pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan atau pemerataan akses, peningkatan mutu relevansi serta efisiensi managemen pendidikan, akuntabilitas dan pencitraan publik.

Implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah ini memuat delapan standar nasional pendidikan, yaitu : Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan dan Standar penilaian pendidikan.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP ) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 telah mengembangkan standar-standar tersebut dan telah diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tentang Standar Isi, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tentang Pedoman Pelaksanaan.

Diskripsi diatas yang mendasari lembaga pendidikan dan pelaku pendidikan untuk di implementasikan dalam pembelajaran di dalam kelas. Dengan dasar UU Sisdiknas tersebut diharapkan akan tercipta peserta didik yang cerdas dan bermartabat. Oleh sebab itu semua pelaku pendidikan harus bisa memahami, mengamalkan dan mengimplementasikan dalam dunia pendidikan.

Apakah semua guru memahami UU Sisdiknas…?
Berbicara adalah kebiasan seorang guru pada umumnya, ceramah didepan kelas adalah metode pembelajaran yang paling populer dan menyuruh siswa mencatat adalah metode penguasaan kelas yang paling gampang. Guru tidak biasa membaca buku apalagi membaca hal-hal yang berkaitan dengan undang-undang dan  peranturan-peraturan pemerintah. Mungkin saja guru tahu tentang UU tetapi hanya sebatas yang didengar atau dilihat lewat media informasi. Bahkan  ketika ada dialog Menteri Pendidikan Nasional di Televisi, seorang guru cepat-cepat mengalihkan chanel ke acara sinetron. Ini menunjukan bahwa guru tidak peduli dengan UU Sisdiknas.

Guru bergelar sarjana pendidikan dan sudah 22 tahun mengajar dengan golongan IV A, ketika ditanya tentang 8 Standard Pendidikan Nasional, guru tersebut tak bisa menjawab. Bahkan yang lebih memalukan guru tersebut balik bertanya “Standard Pendidikan Nasional itu apa, aku belum pernah dengar “. Inilah profil guru Indonesia yang setiap hari melaksanakan pembelajaran tetapi tidak tahu dasar hukum pendidikan. Jutaan guru Indonesia dengan gagah dan berwibawa serta dianggap orang yang peling pintar dikampungnya, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu jati dirinya yang guru.

Mengapa guru buta UU Sisdiknas…?
Untuk mengetahui UU Sisdiknas, Permendiknas, UU BHP dan lain sebagainya guru perlu membaca dan mencermati materi tersebut secara seksama. Namun yang menjadi kendala adalah guru-guru di Indonesia malas membaca alias budaya membacanya sangat rendah. Apabila seorang guru diberi buku untuk dibaca, buku tersebut disimpan di rak buku sampai berselimut debu tak pernah disentuhnya. Bahkan ada yang memajang buku di ruang tamu untuk hiasan almari. Mengapa demikian…?    Karena guru lebih suka berbicara dan menonton televisi dari pada membaca buku. Ironis seorang guru yang selalu menyuruh siswa untuk rajin belajar dan membaca buku, tetapi guru-guru tersebut malahan malas membaca.

Guru gagap teknologi…?
Materi UU Sisdiknas tersebut bisa didapatkan dari toko buku, majalah, koran, internet atau media lainnya. Maka guru harus kreatif, rajin dan menguasai IT (Informasi dan Telekomunikasi). Kenyataan dilapangan bahwa 95% guru-guru di Indonesia Gaptek (Gagap teknologi), akibatnya guru selalu ketinggalan informasi. Negara Indonesia perlu waktu 30 tahun untuk membudayakan guru-guru gemar membaca. Kalau memang benar, tahun 2040 guru-guru Indonesia baru bisa setara dengan guru-guru di Eropha.










PPDB dan Seragam Baru


Dua bulan sebelum PPD (Penerimaan Peserta Didik), ada tamu perempuan dengan mobil mewah masuk ke suatu sekolah. Entah apa maksudnya, tamu tersebut ingin ketemu kepala sekolah. Melihat penempilannya, perempuan tersebut adalah seorang pedagang yang akan menawarkan dagangannya.

Satu bulan sebelum PPDB, datanglah mobil boks dan menurunkan ratusan potong seragam siswa. Belum dilakukan penerimaan siswa baru, distributor kain sudah berani mengirim kain seragam sementara pihak sekolah berani menerima karena jumlah siswa baru yang akan diterima sudah jelas jumlahnya dan semua siswa baru diharuskan membeli seragam tersebut.

Sekolah tempat berwira usaha…
Wira usaha yang dijalankan oleh oknum sekolah tersebut sudah menjadi tren di Indonesia. Perdagangan model ini, tidak mengenal rugi karena kain seragam yang dijual lebih mahal dibanding kain yang dijual di took-toko terdekat. Kain seragam yang disediakan pasti terjual habis, karena persediaan bahan sudah disesuaikan dengan jumlah siswa yang harus membeli.

Siapa yang dirugikan…?
Yang dirugikan adalah pihak siswa harus membayar mahal dan tidak boleh menawar, pedagang pasar dibuat dagangannya menjadi tak laku dan harus bayar pajak. Guru-guru dipaksa mengorbankan harga diri untuk membantu  menjualkan dagangan yang tidak ada hubungannya dengan  pelajaran disekolah. Guru-guru sudah membantu menjualkan tetapi tidak diberi imbalan yang sesuai. Imag jelek bahwa siswa menganggap  guru mengajar sambil berbisnis, imag negative dimasyarakat bahwa lembaga pendidikan menjual barang dengan paksa.

Siapa yang diuntungkan…?
Sudah pasti yang diuntungkan adalah pedagang tersebut karena dalam penjualan tanpa butuh tenaga kerja, tanpa kena pajak, tanpa butuh ruang atau toko etalase, untungnya besar  dan yang pasti semua dagangan akan terjual habis, (Suara Merdeka, 1 Juli 2009).

Segelintir oknum di sekolah tersebut tentu juga menikmati keuntungan bisnis ini. Namun keuntungan itu bukanlah membuat proses belajar mengajar menjadi lebih baik, karena lembaga pendidikan tidak diuntungkan. Fenomena yang terjadi, guru-guru yang lain tidak berani protes karena takut dengan atasannya (lebih baik diam, yang penting selamat).

Kenapa pedagang bisa masuk sekolah..?
Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana caranya pedagang bisa masuk di sekolah tentu perlu melewati jalan yang terjal. Langkah untuk bisa masuk ke lembaga, maka pedagang harus bisa melewati beberapa pintu gerbang. Setelah menemukan jalannya, maka mudahlah mereka masuk tanpa ada yang bisa menghalang-halangi termasuk kepala sekolah dan komite sekolah.

Kalau sudah seperti ini, maka peran dewan komite sekolah perlu dipertanyakan keberadaanya. Sebagai lembaga kontrol di sekolah mestinya peran dewan komite sekolah berpihak kepada masyarakat. Namun kenyataanya dilapangan bahwa dewan komite sekolah selalu meng-Amini pihak sekolah. Amin...Amin…Amin…


Guru Profesional Memanipulasi Data Beban Kerja Tatap Muka 
   


Bergembiralah mereka seorang guru yang mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi sertifikasi portofolio, guna mendapatkan tambahan tunjangan profesi setara satu kali gaji pokok (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Dengan demikian diharapkan guru yang sudah dianggap profesional tersebut bisa lebih meningkatkan kinerjanya.

Berawal dari surat panggilan ikut seleksi sertifikasi, guru tersebut mulai menyusun materi fortofolio. Dengan batas minimal nilai fortofoilio, guru mulai mencoba mencari celah untuk melakukan berbagai cara supaya batas nilai minimal bisa terpenuhi. Cara-cara yang yang kurang terpuji terbesit dibenak para guru yang nilainya kurang memenuhi batas minimal. Ada yang membuat surat tugas Aspal (asli tapi palsu) dan ada yang memalsu sertifikat punya orang lain. Bahkan ada yang mengganti nama pada karya tulis atau buku modul yang bukan karyanya. Sementara kepala sekolah tak bisa menolak untuk mengesahkan surat-surat tersebut. Guru tak pernah ikut berbagai kegiatan di sekolah, tetapi dalam surat tugas Aspal tersebut selalu tercantum, dengan cara membuat surat tugas baru, seakan-akan guru tersebut aktif pada berbagai kegiatan di sekolah. Bagi yang belum sarjana S-1 atau D4, mereka mulai ikut kuliah lagi walau di perguruan tinggi yang belum terakreditasi baik. Sehingga muncul sarjana-sarjana pendidikan karbitan yang hanya sebatas sarjana hitam diatas putih. Karena sarjana-sarjana semacam ini tidak jauh berbeda ketika mereka belum sarjana.

Ramai-ramai mengikuti seminar dimana-mana, yang tentunya hanya ingin mendapatkan sertifikat semata. Ada yang hanya mendaftar tetapi tidak ikut seminar, bahkan ada sejumlah oknum yang mencoba menjual sertifikat dengan harga yang bervariasi antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000 tergantung jumlah jam seminar dan tingkatan seminar tersebut (tingkat Lokal atau Nasional).
Bagi yang lulus portofolio tentunya sangat lega dan dianggap sudah profesional, sementara yang belum harus mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di wilayah kerja masing-masing. Dalam pelaksanaan PLPG inilah muncul berbagai persoalan. Guru yang sudah berumur diatas 50 tahun tidak mungkin lagi bisa mengikuti pelatihan sepanjang hari dengan baik . Ada guru kena penyakit darah tinggi, rematik, diabetis, asam urat dan lain sebagainya, fenomena seperti ini tentunya program pemerintah tidak begitu berarti. Dimana guru-guru banyak di luar sekolah sehingga jam mengajar sering ditinggalkan.

Setelah menjalani PLPG yang menguras tenaga dan pikiran, selanjutnya mengikuti ujian praktek dan tertulis. Ujian inilah yang benar-benar terlihat mereka guru profesional atau bukan. Karena di beberapa wilayah tempat PLPG rata-rata 50% lebih peserta PLPG tidak lulus ujian. Ironis sekali seorang guru yang selalu manganjurkan siswanya untuk belajar giat agar lulus ujian, ternyata gurunya sendiri  tidak lulus ujian.

PLPG di wilayah Surakarta banyak yang tidak lulus dan akhirnya perserta melakukan demonstrasi menuntut pihak pengelola PLPG agar diadakan ujian ulang dan minta diluluskan. Padahal yang melakukan demonstrasi tersebut sudah melakukan ujian ulang sampai 3 kali. Bahkan sampai menghadap ketua PGRI Provinsi dan Badan Perwakilan Daerah (BPD) Jawa-Tengah di Semarang (Suara Merdeka).

Setalah dinyatakan lulus fortofolio atau PLPG, timbul masalah lagi di sekolah tempatnya mengajar yaitu guru tersebut harus mempunyai beban kerja sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Masalah ini timbul karena sebelumnya seorang guru hanya mempunyai beban kerja 12 – 18 jam tatap muka, terutama pada tingkat SLTP dan SLTA yang jumlah rombongan belajarnya sedikit tetapi gurunya banyak. Sehingga guru di beberapa sekolah melakukan manipulasi data pada SK Kepala Sekolah, yaitu SK Pembagian tugas mengajar dan jadual mata pelajaran. Menipulasi ini sekedar untuk dilaporkan ke tingkat institusi yang lebih atas. Setelah dilakukan manipulasi data tersebut, seorang guru tersebut tetap hanya melaksanakan beban kerja 12 – 18 jam tatap muka per-minggu, bahkan guru-guru tersebut  tidak menunjukan kinerja yang lebih baik.

Disinilah letak dimana guru melakukan tindakan yang kurang terpuji yaitu melakukan kebohongan-kebohongan. Tidak tanggung-tanggung jam mengajar guru lain diambil tanpa dilakukan musyawarah, sehingga terjadilah konflik internal di sekolah. Inilah potret guru Indonesia yang sudah dianggap profesional.
Selanjutnya kapan pemerintah (Dedpdiknas) akan melakukan investigasi ke sekolah-sekolah untuk memantau kinerja guru-guru yang sudah dianggap profesional tersebut ?.







UNAS dan Guru Curang 

 

Benarkah harga diri sekolah dan nama baik kepala sekolah ada pada tingkat kelulusan Ujian Nasional siswanya ?.
Dibeberapa sekolah guru melakukan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UN/UNAS. Bentuk kecurangan itu antara lain : Guru membantu mengerjakan soal siswanya, guru memberi kunci jawaban kepada siswanya, guru membiarkan siswanya mencontek, guru membiarkan siswanya bekerja sama sesama teman dalam satu ruang bahkan kepala sekolah memberikan instruksi kepada pengawas ujian agar siswanya diberi kebebasan seluas-luasnya dalam mengerjakan soal-soal ujian.

Caranya adalah  : pertama, setelah panitia UNAS mengambil naskah soal, selanjutnya salah satu soal diambil dari dalam amplop. Kemudian guru yang dianggap mampu disuruh mengerjakan soal dan membuat kunci jawaban. Setelah itu kunci jawaban di distribusikan ke salah satu siswa, lalu siswa menyebarkan pada teman-temannya sebelum ujian dimulai. Kedua, membuat pemetakan anak yang dianggap mampu mengerjakan soal ujian  dan anak yang kurang mampu mengerjakan soal ujian. Dalam satu ruang diisi 20 peserta dan minimal diisi 2 siswa yang mampu. Siswa dengan soal A membantu temamnya yang mendapat soal A, siswa dengan soal B membantu temannya yang mendapat soal B. Selanjutnya pengawas telah dihimbau oleh kepala sekolah setempat untuk memberikan kebebasan siswa bekerja sama dan pengawas pura-pura tidak tahu atau pengawas disuruh minum dulu di kantor. Ketiga, siswa disuruh tidak menghitamkan lembar jawaban atau tidak dijawab. Setelah lembar jawab dikumpulkan, tindakan selanjutnya adalah guru-guru melakukan perbaikan di kantor dalam ruang tertutup. Jawaban yang salah dirubah dengan jawaban yang betul dan jawaban yang masih kosong langsung  dihitamkan yang betul oleh guru-guru tersebut. Keempat, guru memberikan membocorkan kunci jawaban dengan menggunakan alat komunikasi seperti Hand Pone (HP). Tentunya model keempat ini, siswa telah di himbau untuk membawa HP kedalam ruang ujian.

Model kecurangan semacam ini dipastikan siswanya lulus 100%. Sekolah yang lulus 100% bisa membanggakan kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Dengan demikian nama baik sekolah mendapat apresiasi positif oleh institusi yang lebih tinggi dan masyarakat sekitarnya.























Guru Bercanda, Guru Humoris, Guru Porno di depan Kelas 



Kegiatan di dalam kelas yang membosankan siswa antara lain : mencatat, mendengarkan ceramah guru, mengerjakan soal-soal, membaca buku dan mendengarkan kesombongan guru yang menceritakan kehebatan dirinya serta melihat raut muka guru yang selalu cemberut dan marah.

Proses terjadinya transfer ilmu pengetahuan dari guru ke siswa bisa berjalan optimal kalau suasana Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas menyenangkan. Beberapa factor yang bisa membuat siswa senang belajar adalah : siswa senang dengan mata pelajaran, senang dengan guru pengajar, siswa dalam keadaan sehat dan lingkungan belajar yang kondusif.

Berdasarkan hasil jajak pendapat  bahwa yang paling disenangi adalah dalam KBM perlu diselingi dengan humor-humor segar. Sehingga perasaan siswa dalam belajar tidak selalu tegang dan suasana menjadi nyaman. Kalau perlu dalam KBM dihentikan 3 – 5 menit untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar materi pelajaran. Misalnya menyanyi bersama, berncanda, ngobrol atau makan-makanan ringan.

Apakah semua guru bisa ber-humor ?
Tentunya tidak semua guru bisa ber-humor dan bercanda dengan siswa. Tetapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, guru selalu marah-marah, suka menghukum siswa, menakut-nakuti siswa, bahkan mengeluarkan kata-kata ancaman dan menjadikan siswa  rendah diri dan penakut. Sifat seorang guru yang merasa dirinya paling pinter, akan  membuat siswa menjadi tidak simpatik. Karena, proses  KBM yang baik adalah dimana  guru sebagai motivator, guru sebagai mediator, guru sebagai nara sumber dan guru sebagai teman belajar siswa. Dengan demikian Susana KBM  benar-benar demokratis dan romatis.

Keterbatasan kemampuan seorang guru untuk membuat susana kelas menjadi segar, kadang guru bercanda sampai melebihi batas-batas norma. terkadang guru ber-humor dengan kata-kata yang mengarah ke hal-hal yang bersifat porno, menghina salah satu siswa bahkan menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi. Kalau sudah demikian, siswa laki-laki bersorak-sorak sementara siswa perempuan diam, senyum-senyum dan pura-pura tidak mendengar.

Apakah ber-humor di kelas mesti harus porno ?
Hasil wawancara pada sejumlah siswa di suatu sekolah, bahwa humor yang paling disenangi siswa laki-laki adalah humor yang mengarah ke porno. Sementara humor porno adalah humor yang paling mudah dilakukan oleh seorang guru.  Tetapi humor porno ini tidak disenangi oleh sebagian besar siswa perempuan.

Dampak humor porno sangat tidak etis, tidak santun, tidak senonoh dan merusak mental siswa. Karena siswa bisa ikut-ikutan berkata porno tanpa ada rasa bersalah. Terbukti di suatu sekolah ada seorang guru yang selalu ber-humor porno, akibatnya siswa laki-laki dan perempuan bebas berkata porno, walau yang diajak bicara itu adalah seorang guru atau orang tua siswa sendiri. Ketika di tegur, siswa tersebut menjawab bahwa kata-kata porno itu berasal dari seorang guru yang diajarkan di depan kelasnya.

Buat para guru yang terhormat, janganlah ber-humor porno di depan siswa, karena selain merusak mental, siswa  beranggapan bahwa guru tersebut tidak bermoral alias bermental bejad.


UNAS = Berhala Pendidikan Indonesia 



Setiap 5 bulan sebelum UNAS di laksanakan dan 1 bulan setelah UNAS di laksanakan, semua orang menbiacarakan tentang UNAS. Guru, karyawan sekolah, siswa dan orang tua siswa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mensukseskan UNAS. Orang tua siswa di kumpulkan di sekolah untuk membicarakan UNAS, guru-guru sering rapat dengan agenda UNAS bahkan pejabat politis menghimbau semua jajarannya untuk berperan aktif mengsuksekan UNAS.
Kegiatan belajar di optimalkan, siswa di beri pelajaran tambahan/les UNAS, lembaga-lembaga pendidikan non formal di penuhi pelajar yang akan menempuh UNAS, siswa di ajak untuk mengerjakan soal-soal, kegiatan-kegiatan religius (do’a bersama, tirakatan dan meminta dukungan para normal), jam pelajaran di tambah bahkan jam mata pelajaran yang bukan materi UNAS bisa dipakai untuk jam pelajaran UNAS.. Disini timbul permasalahan, bahwa mata pelajaran yang bukan materi UNAS dipandang sebagai pelajaran yang tidak penting.

Bagi orang tua yang kurang percaya dengan guru di sekolah, mereka akan membawa anaknya masuk pada lembaga pendidikan non formal. Ikut les tambahan pada lembaga pendidikan non formal adalah salah satu jurus yang paling diminati untuk mensukseskan UNAS.

Setiap guru di depan siswa, selalu membicarakan tentang UNAS. Kepala sekolah sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan UNAS. Sementara siswa lebih suka merenung dan berdiam diri membayangkan seandainya dirinya tidak lulus. Ketika diadakan uji coba UNAS dan siswa yang tidak lulus menjadi bingung, putus asa, stres dan akhirnya menangis tanpa ada sebab yang jelas.

Kemampuan intelegensi siswa pastilah beragam, tetapi dalam menghadapi UNAS semua siswa di paksa untuk bisa mengerjakan soal yang sama. Sehingga dalam pelaksanaan UNAS tidak ada perbedaan antara sekolah kota dan desa, anatara anak orang kaya dan anak orang miskin. Namun betapa sulit dan berat, mau tidak mau UNAS harus dihadapi semua siswa di seluruh Indonesia.

Lebih mengherankan lagi bahwa guru-guru yang mengajar materi mata pelajaran UNAS, tidak boleh mengawasi pelaksanaan UNAS, tidak boleh masuk atau mendekati ruang UNAS, tidak boleh mengkoreksi hasil UNAS dan tidak boleh menilai hasil UNAS siswanya. Berarti guru-guru tersebut hanya boleh mengajar dan harus menanggung resiko apabila ada siswanya yang tidak lulus, serta harus mempertanggungjawabkan selama mengajar kepada kepala sekolah, siswa, orang tua siswa  dan masayarakat sekitarnya.

Inilah berhala zaman baru yang sedang di puja-puja kaum intelektual dan calon-calon Intelektual Indonesia. Semoga berhala ini cepat sirna dan kaum intelektual tersadar untuk kembali pada pendidikan yang membumi.










10 Unsur SSN (Sekolah Standard Nasional) SMP N 3 Bayat

Syukur Alhamdulillah, mulai Tahun Ajaran 2009/2010 SMP Negeri 3 Bayat di tingkatkan kualitasnya menjadi SSN (Sekolah Standard Nasional). Unsur apa yang membuat SMP Negeri 3 Bayat di tingkatkan menjadi SSN ?. Tentunya ada beberapa unsur yang  menjadi pertimbangan dalam menentukan standard tersebut. Namun  disini akan di  paparkan gambaran singkat mengenai unsur-unsur yang menjadikan SMP Negeri 3 bayat menjadi SSN. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1.         Disiplin
2.         Lingkungan
3.         Hubungan dengan masyarakat sekitar
4.         Animo pendaftar siswa baru
5.         Administrasi
6.         Fasilitas pendukung KBM
7.         Pelaksanaan KBM
8.         Prosentase tingkat kelulusan
9.         Peningkatan kualitas dari tahun ke tahun
10.      Kualitas SDM

Apakah SMP Negeri 3 Bayat sudah memenuhi 10 unsur tersebut ?

1.          Disiplin – unsur ini yang paling mendasar untuk terciptanya KBM yang baik. SMP Negeri 3 Bayat tidak perlu diragukan lagi dalam disiplin. Jam 05.45 WIB siswa, guru dan karyawan sudah siap untuk melaksakan KBM. Prosentasi siswa tidak masuk sekolah hanya 0,002% dan prosentase guru dan karyawan hanya 0,001%. Artinya siswa, guru dan karyawan mempunyai tingkat disiplin yang sangat tinggi.
2.          Lingkungan – lokasi yang jauh dari keramaian memang sangat mendukung KBM bisa berjalan optimal. SMP N 3 Bayat ini berlokasi di bekas sawah dan berdampingan dengan kampung yang tidak terlalu padat penduduk. Sehingga suasana KBM sangat tenang dan kondusif.
3.          Hubungan dengan masyarakat sekitar – seringnya diadakan pertemuan antara keluarga sekolah, orang tua siswa dan tokoh-tokoh masyarakat sekitar, menjadikan hubungan sangat harmonis. Hubungan yang harmonis dan dukungan masyarakat yang tinggi memungkinkan KBM menjadi terarah dan tenang.
4.          Animo pendaftar siswa baru – untuk tahun ajaran 2008/2009 jumlah pendaftar 258 calon siswa dan yang diterima 160 siswa (pendaftar melebihi kuota). fenomena ini pertanda bahwa SMP Negeri 3 Bayat berkualitas bagus. Karena banyaknya pendaftar menunjukan bahwa sekolah ini sudah mejadi suatu pilihan utama di bandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya. Karena sekolah lain yang terdekat terjadi kekurangan pendaftar dari kuota yang di sediakan.
5.          Peningkatan kualitas secara umum dari tahun ke tahun – kalau dilihat secara umum sekolah ini berkembang cukup pesat. Sekolah yang baru berumur 5 tahun sudah menyabet beberapa kejuaraan, antara lain : Juara I KIR SMP tingkat Kabupaten klaten, Juara I melukis Kaligrafi tingkat Kawedanan Pedan dan peringkat 16 dar 110 peserta Olympiade Komputer tingkat kabupaten Klaten.
6.          Administrasi – dengan bimbingan kepala sekolah yang pengalaman, administrasi sekolah ini cukup baik. Tetapi dalam hal peng-arsipan tentu perlu ditingkatkan. Karena sering hilangnya surat-surat di bidang Tata Usaha dan guru-guru kurang peduli terhadap surat-surat. Apabila butuh surat selalu kebingungan mencari arsip.
7.          Input-Output dan Prosentase tingkat kelulusan – sekolah ini baru meluluskan 3 kali dan hasilnya adalah : Tahun Pelajaran 2005/2006 Lulus 96% nilai rata-rata 7,16. Tahun Pelajaran 2006/2007   Lulus 100% nilai rata-rata 7,75. Tahun Pelajaran 2007/2008 Lulus 95,6% nilai rata-rata 7,68. Dengan melihat data tersebut berarti sekolah ini belum stabil, karena grafik kelulusan masih naik turun, tetapi nilai rata-rata cukup baik. Berarti input yang minim bisa menciptakan output yang cukup baik. Hal inilah yang membuat sekolahan ini mempunyai nilai plus.
8.          Fasilitas pendukung KBM – fasilitas sekolah ini masih sangat minim, karena belum terpenuhinya fasilitas-fasilitas di beberapa mata pelajaran. Laboratorium MIPA, IPS, Bahasa, Komputer, Kesenian belum ada. Bahkan ada mata pelajaran yang tidak mempunyai alat peraga praktek sama sekali. Sementara fasilitas yang tercukupi hanyalah buku-buku pelajaran. Tentunya fasilitas pendukung semua mata pelajaran perlu di adakan agar KBM bisa berjalan optimal.
9.          Pelaksanaan KBM – di sekolah ini KBM masih konvensional, artinya guru-guru mengajar masih menggunakan metode yang sudah ketinggalan jaman. Metode mencatat, ceramah dan mengerjakan soal-soal masih mendominasi KBM. Pembelajaran dengan metode CTL (Contextual Teaching and Learning) hampir tidak pernah diterapkan, sehingga siswa menjadi bosan, ngantuk dan cepat capek. Sementara guru-guru masih senang memberi hukuman dari pada memberi sanjungan/penghargaan.
10.       Kualitas SDM – sekolah ini perlu diadakan peningkatan mutu untuk guru dan karyawan. Walaupun guru-guru sudah pengalaman mengajar diatas 15 tahun, tetapi kualitasnya masih minim (malas membaca dan tidak mngikuti perkembangan dunia pendidikan). Terlihat dalam KBM masih menggunakan pola-pola lama/kuno. Bahkan hanya 5% guru yang bisa mengoperasikan komputer. Sebab SSN adalah sekolah yang berbasis TI (Teknologi Informatika).

Dengan mengkaji paparan tersebut diatas, bahwa SMP Negeri 3 Bayat hanya memenuhi 7 unsur yaitu unsur nomor 1 sampai nomor 7. Untuk unsur nomor 8 sampai nomor 10 belum memenuhi syarat sebagai SSN. Jadi apabila benar-benar di tetapkan  menjadi SSN, maka unsur nomor  8, 9 dan 10 harus di tingkatkan sebelum tahun ajaran baru 2009/2010.



“10 Oktober 2003”          Puisi Kisah Nyata di SMP Negeri 2 Pugung, Tanggamus, Lampung               
                                                              
   

Aku seperti tikus
Yang di kejar-kejar seekor kucing yang lapar
Aku dijadikan tikus
Yang diterkam kucing kelaparan
Mereka beringas, buas dan kejam
Aku dianggap seekor tikus
Karena mereka seperti seekor kucing

Aku lari, aku di caci maki
Aku lari, aku di terkam seekor kucing
Aku di seret, aku di banting, aku jatuh
Anak-anakku menangis, mereka menjerit histeris
Anak-anakku berteriak, memanggil-manggil namaku
Tapi aku tidak mendengar
Karena aku tidak sadar

Aku dibangunkan
Aku dibawa lari seekor harimau
Aku tinggalkan tempat itu
Aku tinggalkan anak-anakku
Mereka menangis mengantar kepergianku
Kutinggalkan rumput-rumput dan tiang bendera membisu
Kucing-kucing memukul tiang bendera
Kucing-kucing berteriak
Mereka akan merobek-robek kulitku
Mereka akan membelah dadaku
Dan menghisap darahku

Tapi aku di selamatkan kawan
Tapi aku di lindungi Tuhan
Karena aku tikus yang beriman

Aku terjaga dari mimpi buruk itu
Di waktu sore Jum’ at kelabu
Aku sadar, aku ingat
Aku bukan seekor tikus
Tapi aku adalah manusia

Aku adalah gurunya kucing-kucing itu
Aku adalah gurunya harimau itu
Yang dianggap seekor tikus yang tak berarti bagi mereka

Mereka adalah anak-anakku
Yang tidak tahu bahwa aku adalah manusia seperti mereka

Kini aku hanya bisa berucap
Selamat tinggal anak-anakku
Selamat berpisah
Kita dibelah dalam keadaan duka
Kita pisah bertebar bunga

Kita berpisah dalam keadaan duka
Karena anak-anakku yang menodai perpisahan ini

Selamat berpisah, semoga bahagia
Amin……


Kisah Nyata ini terjadi di Desa Sumanda, Kec. Pugung, Kab. Tanggamus, Lampung pada tanggal 10 Oktober 2003 hari Jum’ at jam 15.00 WIB. Ketika aku bersama temanku (Jamsani) sedang melatih pramuka siswa SMP Negeri 2 Pugung, Kab. Tanggamus, tiba-tiba aku diserang/dikeroyok kurang lebih 50 orang secara anarkis oleh alumni SMP (muridku sendiri) dan warga sekitar sekolahan (warga Dusun Sumanda, Kec. Pugung, Kab. Tanggamus). Alhamdulillah aku tidak cedera sedikitpun, karena aku masih dilindungi Allah SWT. Salam buat keluarga besar SMP Negeri 2 Pugung, Tanggamus, Lampung.

Peredaran Uang Jajan di Suatu Kantin



Di Suatu Sekolah Tahun Ajaran 2008/2009 jumlah anak pada suatu sekolah 480 siswa dengan perbandingan 250 laki-laki dan 230 perempuan.  Berdasarkan data tingkat kemampuan ekonomi, rata-rata siswa dari keluarga yang kurang mampu. Dari jumlah 480 siswa diantaranya 120 siswa mendapat beasiswa/subsidi  dari pemerintah daerah dan 30 siswa dibebaskan dari uang iuran komite.

Sementara siswa yang tidak mendapatkan uang subsidi, mereka sebagian besar juga masih kesulitan untuk membayar iuran komite setiap bulannya. Sebab berdasarkan data pada bendahara iuran komite, siswa-siswa tersebut selalu terlambat membayar iuran setiap bulannya. Setelah kami lakukan wawancara pada beberapa siswa dan orang tua siswa, mereka mengaku dari keluarga yang kurang mampu/miskin.

Namun sebaliknya ketika kami amati setiap istirahat pertama dan kedua, hampir separuh jumlah siswa berjubel di depan kantin untuk jajan. Kantin sekolahan yang hanya satu sangat terlihat jelas bahwa siswa-siswa tersebut berebut untuk jajan sesuai dengan keinginannya.

Setelah dilakukan pengamatan di lapangan dan wawancara langsung dengan siswa, bahwa siswa menghabiskan uang jajan setiap hari di sekolah rata-rata 2000 rupiah. Hasil pengamatan pada bulan Januari 2009, rata-rata setiap istirahat ke 1 yang jajan 150 siswa dan istirahat ke 2 rata-rata 75 siswa. Jika di hitung secara matematis  225 siswa X 2000 rupiah X 25 hari, maka rata-rata setiap bulan 11,250,000,- rupiah. Apabila dalam satu tahun ada 10 bulan efektif, maka 11,250,000 rupiah X  10 bulan = 112,500,000 rupiah setiap tahunnya.

Dengan melihat data hasil survey tersebut bahwa data ini menunjukan angka yang fantastis yaitu  Siswa tersebut adalah siswa konsumtif (boros).  Siswa yang konsumtif tersebut sangat bertolak belakang dengan pengakuan orang tua siswa yang mengaku miskin.

Benarkah siswa itu dari keluarga-keluarga miskin ?
Tentunya sudah tren (membudaya) bahwa bangsa Indonesia sudah tidak malu lagi untuk berbohong bahwa dirinya mengaku orang miskin agar di beri belas kasihan orang lain.

Siapa lagi yang ingin mengaku miskin, daftar dan beri komentar tulisan ini. Terimakasih…
















Sejarah Berdirinya SMP Negeri 3 Bayat Klaten


Seiring  diluncurkannya program WAJAR (Wajib Belajar) Sembilan Tahun, selanjutnya  pemerintah mendasari dengan pemerataan tempat dan sarana belajar di seluruh Indonesia. Salah satu pemerataan tempat dan sarana belajar adalah program USB (Unit Sekolah Baru).

Wilayah Kecamatan Bayat yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang besar, namun Kecamatan Bayat baru memiliki 2 SMP, yaitu SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 2. untuk wilayah Bayat bagian utara belum ada SMP, sementara anak sekolah terlalu jauh untuk sekolah ke SMPN 1 dan SMPN 2 Bayat. Oleh karena itu pemerintah meluncurkan program sarana SMP untuk Bayat bagian utara.

Dalam peluncuran USB SMP tersebut tidak semudah membalikan tangan, karena terjadi perebutan tempat USB. Perebutan dilakukan oleh warga Desa Gununggajah dan warga Desa Wiro Kecamatan Bayat bagian utara. Sehingga terjadi tarik ulur antara warga dan tokoh masyarakat kedua desa tersebut. Selama kurang lebih 2 tahun terjadi perdebatan hingga masing-masing warga desa melakukan demontrasi besar-besaran ke kantor kecamatan Bayat, ke kantor Kabupaten Klaten dan sampai demontrasi ke tingkat Provinsi (Semarang).

Warga kedua desa saling mengklaim, bahwa desanya yang paling berhak untuk tempat pembangunan USB SMP Negeri 3 Bayat. Mereka sama-sama melakukan demontrasi dengan mengumpulkan ratusan warga sebanyak-banyaknya dengan kendaraan truk, mini bus dan sepeda motor. Siang-malam kedua desa saling melakukan loby-loby ke beberapa pejabat instansi terkait, agar dimenangkan untuk tempat USB.

Akhirnya  dengan berbagai pertimbangan pada awal tahun 2003, pemerintah memutuskan USB di tempatkan di desa Wiro, Kecamatan Bayat dengan menempati tanah kas Desa Wiro. Setelah pembangunan USB selesai, selanjutnya dilakukan peresmian dengan penandatanganan sebuah prasasti oleh Gubernur Jawa-Tengah H. Mardiyanto pada Tanggal 31 Desember 2003.

Tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam memperjuangkan pembangunan USB SMPN 3 Bayat adalah : Suharlan (Kepala Desa Wiro), Subari, S.Pd, Drs.Supardi, Ibnu Widodo, Suharjo, Tri Winarno, Supriyadi, Supono, Joko Marhanto serta tokoh masyarakat lainnya.

Sebelum pembangunan gedung selesai, SMP Negeri 3 Bayat sudah mencari siswa baru dengan menempati atau numpang di SD Wiro 2 selama kurang lebih 5 bulan. Kemudian dilakukan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) mulai bulan Juli 2003 dengan Kepala Sekolah pertama di jabat Drs. Suramlan dan Wakil Kepala Sekolah Subiman S.Pd.. Selanjutnya dikeluarkanlah Surat Keputusan Bupati Klaten tertanggal 2 Oktober 2003 sebagai tanda dimulainya KBM. Maka Tanggal 2 Oktober selalu diperingati sebagai hari lahirnya SMP Negeri 3 Bayat Klaten.

Perjalanan SMPN 3 Bayat yang berliku-liku itu akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa. SMPN 3 bayat sebagai sekolah percontohan seluruh Indonesia untuk golongan USB. Sekolah  yang berdiri tahun 2003 dan pada tahun 2008 telah meningkat setatusnya menjadi SSN (sekolah Standard Nasional). Inilah satu-satunya sekolah di Jawa-Tengah yang baru berumur 5 tahun sudah menjadi SSN. Ingin lebih jelas cerita sejarahnya, silahkan berkunjung ke SMPN 3 Bayat, Desa Wiro, Kabupaten Klaten, Jawa-Tengah.

Nara sumber Ibnu Widodo salah satu tokoh pemuda Desa Wiro, Kec. Bayat, Klaten.



















Pengkab Klaten Gratiskan SPP SMP


Disahkannya UU BHP Desember 2008, Pemerintah Kabupaten Klaten menggelontorkan dana pendamping BOS (Biaya Operasional Sekolah) SMP dan sederajat sebesar Rp 4.344 miliar. Alokasi dana BOS dari APBN yang hanya Rp 570.000 per siswa pertahun, dirasa masih kurang. Menurut  Pemkab Klaten, setiap siswa membutuhkan dana Rp 650.000 pertahun. Sehingga Pemkab Klaten menambah dana pendamping BOS Rp 80,000 persiswa pertahun. Komponen yang dibiayai meliputi  : alat tulis kantor, rapat, perjalanan dinas, penilaian dan evaluasi, daya dan jasa, pemeliharaan sarana  dan prasarana, dan pendukung pembinaan siswa.

Menurut data dari Dinas P dan K Klaten, siswa SMP dan sederajat berjumlah 54.583 anak. Dengan dana sebesar itu, sekolah tidak boleh lagi menarik uang operasional sekolah dari orang tua siswa, kecuali SMP yang berstandard Internasional. Namun sekolah masih diperbolehkan menarik biaya pembangunan sekolah, kecuali bagi siswa dari keluarga miskin. Alasannya, pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja, tetapi orang tua juga harus ikut berpartisipasi   (Suara Merdeka, 9 Pebruari 2009).

Apakah cukup dengan dana Rp 650.000 persiswa pertahun ?

Untuk sekolah pinggiran seperti salah satu SMP Negeri di Klaten, dengan dana Rp 774.000 persiswa pertahun, di rasa masih sangat minim. Dana Rp 774.000 ini di himpun dari dana BOS Rp 354.000 persiswa pertahun dan Iuran Komite (SPP) Rp 420.000 persiswa pertahun. Sementara sekolah harus menggratiskan 30 siswa selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2009.

Dana operasional sebesar Rp 774.00 persiswa pertahun di sekolah tersebut, mulai Januari 2009  seluruh dana operasional sekolah di tanggung pemerintah pusat dan daerah, tetapi hanya sebesar Rp 650.000 persiswa pertahun, sehingga sekolah tersebut kekurangan dana Rp 124.000 persiswa pertahun. Apabila sekolah tersebut memiliki 480 siswa, setelah dihitung Rp 124.000 dikalikan 480 siswa, maka sekolah kekurangan dana sebesar Rp 59.520.000 pertahun.

Dari mana untuk menutup kekurangan dana Rp 59.520.000 ini ?

Dana sebesar atau sekecil apapun bisa dilaksanakan untuk operasional sekolah. Namun di sisi lain akan timbul permasalahan yang berkaitan dengan kinerja tenaga kependidikan dan di hapusnya beberapa kegiatan dan pembinaan siswa. Akibatnya, proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) terganggu atau bahkan akan turun drastis. Proses KBM yang terganggu, akan berakibat menurunnya hasil akhir  dari proses pendidikan. Untuk itu mestinya Pemkab Klaten tidak hanya menambah dana Rp 80.000 persiswa pertahun, tetapi  menambah dana pendamping BOS minimal antara Rp 250.000 sampai Rp 350.000 persiswa pertahun. Dengan tambahan dana pendamping BOS sebesar itu dipastikan dunia pendidikan khususnya siswa SMP di Klaten bisa berkembang pesat seiring kemajuan zaman di era global seperti ini.







SMP Kecolongan Nilai UAN SD


Setiap awal Tahun Pelajaran Baru, semua SMP di seluruh Indonesia selalu sibuk dengan beberapa orang personel sebagai panitiya penerimaan siswa baru. Untuk SMP yang dianggap bermutu baik atau vaforit, pastilah menjadi pilihan utama dan menjadi serbuan calon siswa baru dari berbagai wilayah disekitar sekolah tersebut.
Pada penerimaan calon siswa baru Tahun Pelajaran 2008/2009, Depdiknas telah membuat aturan baru yaitu : seleksi PCPD (Penerimaan Calon Peserta Didik)   hanya menggunakan nilai hasil UAN SD. Aturan ini memang mudah dan praktis untuk dilaksanakan bahkan bisa menekan pembiayaan. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, panitiya langsung bisa mengumumkan dengan model jurnal. Apabila calon siswa baru tersebut nilai UAN nya tidak mencukupi batas minimal yang dialokasikan, calon siswa langsung bisa mencabut dan mencari sekolah alternatif lainnya. Sehingga bagi SMP yang menjadi pilihan utama dipastikan mendapat calon siswa baru dengan nilai yang baik. Sementara SMP yang menjadi pilihan kedua dan seterusnya, hanya mendapat calon siswa dengan nilai yang rendah-rendah.

Apakah nilai UAN yang tinggi bisa dipertanggungjawabkan ?
Pada salah satu SMP Negeri di Klaten, sekolah ini menjadi pilihan utama bagi calon siswa baru. Sekolah ini mendapatkan calon siswa baru dengan nilai UAN SD yang cukup tinggi. Nilai UAN yang tinggi ini sudah menjadi harapan pihak sekolah, karena nilai UAN yang tinggi dipastikan siswa tersebut mempunyai kemampuan intelegensi yang baik/cerdas. Siswa yang cerdas akan mudah menyerap materi pelajaran, mudah beradaptasi dan menjadikan out put SMP akan lebih baik.

Namun yang terjadi di lapangan bisa berbeda dengan nilai yang tertulis di lembar hasil UAN SD. Karena setelah siswa mengikuti pembelajaran di SMP kurang lebih 6 bulan, siswa-siswa tersebut akan kelihatan berdasarkan pengamatan tingkah laku di kelas/sekolahan dan  hasil penilaian  ulangan harian.

Menurut survey yang dilakukan pada salah satu SMP Negeri di Klaten, bahwa 30% siswa yang mempunyai nilai UAN  rata-rata  7,5 keatas, siswa-siswa tersebut kesulitan mengikuti pembelajaran yang diajarkan di SMP. Siswa–siswa tersebut menjadi bulan-bulanan temannya, olok-olokan dan akhirnya bisa berakibat fatal yaitu siswa menjadi rendah diri (Minder).

Kemudian dilakukan survey dengan wawancara terhadap siswa tersebut, bahwa ketika mengerjakan Soal UAN SD siswa-siswa tersebut :
1.     Mengerjakan soal UAN dengan bekerjasama sesama teman peserta ujian,
2.     Pengawas UAN membantu mengerjakan soal yang dianggap sulit,
3.     Siswa boleh bertanya kepada pengawas UAN,
4.     Salah satu guru di sekolah tersebut memberikan kunci jawaban kepada salah satu siswa dalam bentuk catatan kecil, kemudian kunci jawaban tersebut diberikan temannya secara bergiliran,

Kalau kualitas nilai UAN terus dinodai seperti ini, mungkin kualitas pendidikan di Indonesia tidak ber-anjak dari peringkat 39 dari 41 negara-negara berkembang. Tetapi dari beberapa pihak sekolah melakukan penodaan, karena ada tuntutan yang harus dipenuhi. Karena memenuhi tuntutan merasa tidak mampu, akhirnya semua pihak menghalalkan segala cara.
Siapa yang jadi korban…pastilah anak didik itu sendiri.


Ponari Sang Dukun Cilik Dari Jombang dan Batu Jimatnya


Sebuah rumah yang tak layak huni, berlantai tanah, berdinding bambu dan apabila turun hujan genting bocor dimana-mana. Disinilah lahir  bocah yang diberi nama Muhammad Ponari. Layaknya seorang bocah yang baru kelas III SD, Ponari ini bermain sambil berhujan-hujan. Ditengah permainan itu Ponar  tersambar petir kemudian menemukan sebuah batu sebesar telur ayam kampung yang  oleh Ponari dianggap aneh, kemudian dibawa pulang. Kakek Buyutnya berpesan kepada Ponari agar batu tersebut dirawat baik-baik dan dijadikan sebagai jimat. Karena batu tersebut bisa untuk menyembuhkan segala penyakit. 

Awalnya  dicoba untuk menyembuhkan beberapa pasien diantara tetangganya, setelah terbukti manjur, maka berita tersebut tersebar dari mulut-kemulut sampai keseluruh daerah Jombang dan sekitarnya, bahkan sampai Solo, Yogya, Semarang dan Jakarta. Sehingga masyarakat berduyun-duyun sampai mencapai puluhan ribu perhari untuk meminta penyembuhan panyakit.

Metode penyembuhan yang sangat sederhana ini sangat diminati masyarakat, karena pasien hanya membawa air. Air dalam gelas tersebut dicelupi batunya Ponari satu kali. Air yang sudah dicelup batu itu bisa diminum dan dioleskan pada bagian yang sakit. Selanjutnya pasien hanya diminta memberikan imbalan seikhlasnya.

Apakah ada unsur eksploitasi terhadap Ponari…?

Begitu ramai dan meluas berita penyembuhan itu, sampai Ponari dibantu lebih dari 300 panitiya, baik dari  unsur masyarakat setempat, sampai pada jajaran Kepolisian dan TNI. Karena dalam satu hari  bisa mencapai puluhan ribu pasien. Sehingga perlu dipasang tenda, kursi, meja, pagar pengamanan, nomor pendaftaran dan tempat parkir. Panitiya sudah dibagi-bagi tugasnya, dan yang paling medapat perhatian adalah bagian kotak uang imbalan yang dijaga Polisi dan TNI.

Masyarakat sekitar rumah Ponari juga diuntungkan, karena munculnya warung-warung dadakan, pedagang asongan dadakan dan penginapan-penginapan bagi pasien yang belum mendapatkan giliran. Sontak desa dimana Ponari tinggal, benar-benar manjadi desa bak metropolitan. Masyarakat yang tadinya berkebun, berladang, berdagang dipasar, tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan beralih profesi sebagai panitiya dan ada yang berdagang di sekitar rumah Ponari. Ponari sang dukun cilik yang bisa memberikan kesembuhan orang sakit dan memberikan rejeki banyak orang.

Padat, ramai, panas, berjubel, lelah dan sakit adalah fenomena yang terjadi dalam antrian tersebut. Sehingga timbul masalah, karena pasien berdesak-desakan tak teratur, akhirnya banyak pasien yang terijak-injak, pingsan bahkan 4 orang tewas sebelum mendapat giliran celupan batu Ponari.

Akibat 4 orang tewas, Pemerintah Daerah Jombang beserta jajarannya turun tangan untuk mengambil langkah-langkah yang terbaik.  Akhirnya Ponari menghentikan sementara kegiatannya dan  di ungsikan di Rumah Dinas Bupati Jombang. Selanjutnya pasien yang belum mendapatkan giliran celupan batu Ponari, dihimbau untuk pulang kerumah masing-masing, karena Ponari sudah tidak buka praktek penyembuhan lagi. Dengan rasa menyesal, ribuan pasien pulang sambil ngomel-ngomel dan mencemooh para pejabat Daerah Kabupaten Jombang.

Fenomena  seperti ini sudah membudaya bagi sebagian bangsa Indonesia. Berjubelnya pasien pada  penyembuhan alternatif ini, menunjukan bahwa Paramedis Indonesia sudah kurang bisa dipercaya lagi kemampuannya untuk menyembuhkan penyakit. Disamping harga obat-obatan yang tidak terjangkau lagi, terutama masyarakat ekonomi lemah. Sementara Pemerintah setengah hati untuk memberikan Jamkesmas   (Jaminan Kesehatan Masyarakat).

Ada apa dengan batu jimatnya Ponari..?

Batu tetaplah sebuah batu, tetapi yang tidak bisa kita pungkiri adalah fakta. Batu Ponari sudah menunjukan fakta dijaman modern ini, dimana sebagian bangsa Indonesia lebih percaya dengan hal-hal yang bersifat mistis. Dengan keyakinannya, suatu penyakit bisa sembuh hanya dengan air yang dicelupi sebuah batu. Batu bukan sembarang batu, tetapi kali ini “Batunya Ponari Sang Dukun Cilik dari Jombang”.

Kapan dan dimana Ponari akan buka praktek lagi, tentunya masyarakat akan mendatangi lagi dan berjubel seperti semula. Tetapi yang lebih penting semoga Ponari bisa melanjutkan sekolahnya untuk meniti masa depan yang lebih konkrit dan bisa menikmati masa anak-anaknya untuk bermain dengan teman sebayanya.





TV Sebagai Tuntunan atau Tontonan Pelajar Indonesia


Insiden pencurian sepeda motor di tempat parkir sebuah gedung pemerintahan di Sumatra. Setelah diselidiki selama satu minggu, komplotan pencuri motor telah tertangkap, dan pencurinya adalah 2 siswa  di salah satu SMP yang masih dekat dengan gedung pemerintahan tersebut.

Perkelaian dan pengeroyokan hingga tewasnya siswa SMP, terjadi di salah satu kota kecil di Jawa. Pelaku pengeroyokan digelandang ke Mapolres setempat, dan pelakunya adalah teman sekelasnya sendiri. Pengeroyokan dilatar belakangi rebutan pacar, dan siswi yang jadi rebutan adalah juga teman sekelasnya.

Bunga adalah nama samaran anak perempuan yang baru berumur 8 tahun. Bunga tersebut menjadi korban pemerkosaan siang bolong digubuk tengah sawah yang sepi di salah satu desa di Sulawesi. Setelah di periksa polisi, bunga mengaku yang memperkosa adalah tetangganya sendiri. Bunga diperkosa 3 siswa salah satu SMP di kota kecil tersebut.

Rumah kosong yang lama tak berpenghuni digerebek polisi. Dalam rumah tersebut ditemukan 5 siswa SMA dan 5 siswi SMP. Siswa siswi tersebut melakukan pesta miras dan pesta sex. Setelah diperiksa Polisi, mereka semua dari keluarga yang terpandang di kota tersebut. Mereka melakukan kegiatan seperti itu sudah 4 kali.

Beberapa siswa memukuli gurunya di depan kepala sekolahnya. Kejadian tersebut mengemparkan masyarakat di salah satu kota di NTT. Pemukulan dilatarbelakangi dendam karena siswa –siswa tersebut tidak lulus UN (Ujian Nasional).

Di salah satu kota besar di Jawa ada pembajakan Bus Kota. Setelah pembajak meminta uang dan barang-barang  penumpang, mereka melukai sopir dan salah satu penumpang. Namun sebelum pembajak turun dari bus, mereka keburu ditangkap Polisi. Setelah di periksa di Kantor Polisi, komplotan pembajak tersebut adalah siswa salah satu SMP di kota tersebut.

Ketika salah satu SMP di Jawa melakukan UN (Ujian Nasional), 45% siswanya tidak lulus Ujian Nasional. Kemudian dilakukan survey pada SMP tersebut bahwa 47% dari 200 siswa, setiap hari  dirumahnya tidak pernah belajar.   

Polisi melakukan patroli/operasi khusus menjaring pelajar keluyuran pada jam belajar di salah satu kota besar di Jawa. Dalam operasai tersebut terjaring 176 siswa dan 74 siswi. Siswa-siswi tersebut terjaring di tempat-tempat wisata, Mall, Warnet dan PS (Ply Station).

Salah satu kota kecil di Kalimantan, dalam satu tahun ada 17 siswi SLTA dan 6 Siswi SLTP drop out. Siswi-siswi tersebut drop out karena hamil diluar nikah. Sementara lelaki yang menghamili adalah teman sekolahnya masing-masing.

Beredarnya video perkelaian antar geng di salah satu kota keci di Jawa, membuat geram para pejabat Pemerintah Daerah setempat. Setelah dilakukan peyelidikan oleh aparat yang berwenang, pelakunya adalah pelajar SLTA di kota kecil tersebut.

Video syur dengan bintang film amatir yang berdurasi 2 menit telah beredar hangat di salah satu kota kecil di NTB. Video tersebut dibintangi oleh siswa-siswi yang menggunakan seragam sekolah salah satu SLTA di kota tersebut. Dalam pembuatan film dilakukan di salah satu tempat wisata pantai yang cukup terkenal di kota itu.

Dari hasil pengamatan, bahwa fenomena tersebut diatas dilakukan pelajar-pelajar Indonesia, karena dipengaruhi tayangan TV. 90% pelajar Indonesia menghabiskan waktunya di depan TV atau rata-rata menonton TV selama 7 jam perhari.

Tetapi seberapa besar dampak negatif tayangan TV terhadap pelajar Indonesia, tentunya pemerintah atau lembaga terkait perlu meninjau kembali Tata Aturan atau UU Pertelevisian. Dalam hal ini perlu dirumuskan kembali bahwa TV sebagai tuntunan atau hanya sebagai tontonan saja. Mungkin yang lebih ekstrem lagi bahwa tayangan TV sebagai penghasut pemirsa, sehingga tayangan TV semakin jelas akan merusak moral Bangsa Indonesia.








Internet , Warnet atau HP Momok Masyarakat Awam



Sebagian siswa SMP tidak mau diajari Internet, setelah di tanya gurunya, anak tersebut tidak boleh belajar Intenet oleh orang tuanya. Sehingga anak tersebut malahan menjadi bulan-bulanan temannya, karena siswa itu dianggap Gaptek (gagap teknologi) dan kurang gaul.

Seorang guru IPA disalah satu SMP di Kabupaten Klaten, melarang guru komputer yang akan mengajari siswanya untuk belajar Internet. Maklum guru tersebut tidak kenal komputer apalagi Internet. Setelah diberi penjelasan, guru IPA tersebut tidak melarang lagi. Setelah mengetahui tentang Internet, guru IPA tersebut menyuruh istrinya untuk belajar Internet.

Kepala Sekolah di salah satu SMP di Kabupaten Klaten, melarang siswanya belajar Internet. Kepala Sekolah itu merasa kawatir, kalau siswanya mengakses Internet. Kekawatiran itu akibat ketidaktahuan tentang dunia Internet. Setelah Kepala Sekolah tersebut diajari Internet, akhirya memberikan izin siswanya untuk belajar Internet.

Bagi sebagian masyarakat desa, Internet adalah sesuatu yang jorok, porno, saru bahkan bisa dibilang Internet itu menyesatkan. Pendapat ini didapat berdasarkan hasil survey di masyarakat pedesaan. Sehingga mereka melarang anaknya belajar Internet, apalagi pergi ke Warnet. Akhirnya anak-anak pergi ke Warnet dengan cara sembunyi-sembunyi.

Tak ada yang bisa menghalangi pesatnya kemajuan Teknologi Informasi dalam kehidupan kita. Abad teknologi informasi telah merambah dalam segala aspek pergaulan, bahkan sudah masuk kedalam pos ronda di kampung-kampung Indonesia. Hingga di sebagian masyarakat merasa kawatir dengan kehadiran Internet ini. Memang perlu di apresiasi kekawatiran itu, karena berbagai pemberitaan media masa yang selalu mempublikasikan kejadian-kejadian negatif. Seperti siswa-siswi melakukan hal-hal yang tidak senonoh di Warnet (Warung Internet), perjudian, chatting negatif dan sampai pada tindakan prostitusi lewat Internet.

Fenomena kekawatiran masyarakat tersebut cukup beralasan, karena Bangsa Indonesia termasuk urutan ke 5 terbanyak di dunia dan urutan ke 2 di Asia sebagai pengakses situs porno.

Internet bisa di akses lewat jaringan kabel telephon atau tanpa kabel seperti Hot Spot dan HP (Hand Phone). Orang bisa mencari apa saja dan melakukan apa saja, baik itu mencari buku, diskusi, belanja barang, promosi, konsultasi kesehatan dan lain sebagainya kecuali di suruh mencari ayam tetangga yang hilang. Bagi mereka yang ingin berbuat negatif, lewat Internet pun bisa dilakukan. Warnet yang pada umumnya disediakan ruang/bilik tertutup, memungkinkan pengguna warnet bebas berbuat apa saja tanpa ada pihak lain yang tahu.

Seberapa besar Warnet membahayakan pelajar…?

Pada dasarnya HP lebih berbahaya dari pada Warnet. Kalau Warnet berada di suatu tempat tertentu yang banyak orang dan ada penjaganya, sementara HP fungsinya juga bisa untuk mengakses Internet dan bisa dibawa kemana-mana. Bahkan HP bisa dibawa bersembunyi di kamar, WC, Kebun dan dimana saja.  

Untuk menghindari pelajar mengakses situs-situs negatif, dengan cara pembinaan mental. Sehingga ketika pelajar mengkases Internet, mereka menempatkan diri pada posisi dimana, tergantung dari modal mental masing-masing individu. Bagi pelajar yang bermental baik, dipastikan tidak akan mengakses situs-situs porno, tetapi pelajar yang bermental jelek, biasanya ke Warnet hanya akan mengakses situs porno. Jadi, kontrol dan kendali Teknologi Informasi dan Komunikasi ini ada pada si penggunanya, bukan ditangan si pencipta.

Maka perlu dibangun benteng pertahanan sejak dini, agar  para pelajar terhindar dari virus yang merusak mental. Benteng pertahanan yang paling kuat adalah mental masing-masing individu. Dimana mental tersebut dibangun dari dalam keluarganya. Lingkungan  keluarga adalah tempat dan waktu yang paling leluasa untuk membina mental. Pelajar yang tak pernah mendapatkan pembinaan mental dengan baik, tentu saja tidak bisa berinteraksi sosial  dan hanya akan membuat keresahan di masyarakat.









Menara Tertinggi di Dunia, Menara Jakarta 558 Meter.


Indonesia akan memiliki menara tertinggi di dunia. Proyek pembangunan menara yang menelan biaya Rp 3 triliun itu pondasi yang telah selesai, tetapi sempat terhenti karena dampak krisis moneter tahun 1998. Pembangunan ditargetkan selesai tahun 2012. Ide pembangunan menara ini berawal dari mantan Presiden Soeharto tahun 1994, sebagai menara telekomunikasi dan multimedia yang didukung fasilitas Mal, kantor, pariwisata dan Ikon Nasional lainnya.

Sebelumnya, tahun 1996 diadakan sayembara desain yang dimenangkan Murphi/Iohn dari Amerika Serikat. Namun karena desainnya terlalu mahal untuk dikembangkan, akhirnya pemerintah memilih desain dari pemenang kedua yaitu karya East Chine Architecture Design & Research Institut (ECADI), karena desain kedua ini dianggap lebih sederhana dan benuansa Asia.

Peresmian pembangunan dilakukan tahun1997 oleh Gubernur Jakarta Soerjadi Soedirdja dan Mensesneg Moerdiono, setelah disetujui Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta. Presiden mengusulkan agar Menara Jakarta diganti menjadi Menara Trilogi.

Pembangunan dimulai pada masa Gubernur Soerjadi Soedirdja, setelah terhenti karena krisis maka dilanjutkan pada masa Gubernur Sutiyoso, namun perkembangannya sangat lamban. Baru pada masa Gubernur Fauzi Bowo, pembangunan mulai di kerjakan lagi dengan Visi “Sentra Gaya Hidup”. Menara dibangun diatas tanah seluas 306,810 m2,  luas gedung 40,550 m2 dan tinggi 558 meter.
(Suara Merdeka, 19 Pebruari 2009).

Seandainya Menara Jakarta benar-benar terwujud, Indonesia semakin lengkap dalam hal “TertinggI”. Bidang-bidang yang masuk lavel 5 tertinggi didunia adalah : Jumlah rakyat miskin tertinggi, jumlah TKI/TKW keluar negeri tertinggi, jumlah rakyat buta aksara dan buta huruf tertinggi, jumlah kerusuhan tertinggi, jumlah pulau tertinggi, jumlah pabrik narkoba tertinggi, jumlah penduduk tertinggi, jumlah pengangguran tertinggi, jumlah pengguna situs porno tertinggi, jumlah kendaraan tertinggi, jumlah haji tertinggi dan jumlah koruptor tertinggi.

Sementara yang terendah adalah kualitas pendidikan, yaitu kemampuan membaca siswa SD menduduki urutan ke 26 dari 27 negara yang di survey, serta  kemampuan matematika siswa SMP  menduduki urutan ke 34 dari 39 negara yang di survey (Suara Merdeka, 2 April 2009).

Sungguh ironis, dimana rakyat antri berebut sedekah, infaq, zakat dan beras raskin hingga terjadi korban tewas, sementara pemerintah menggelontorkan dana 3 triliun hanya untuk menanam besi beton di tengah-tengah metropolitan. Dengan terwujudnya Menara Jakarta, tentunya rakyat miskin hanya bisa menikmati lewat media masa dan melihat dari kejauhan, dan dipastikan rakyat miskin tidak merasakan bangga sedikitpun dengan adanya Menara Jakarta. Karena, dengan perasaan bangga tidak akan membuat perut  menjadi kenyang, bahkan mungkin sebaliknya perut menjadi mual, mules dan keroncongan.






Keunggulan dan Kearifan Lokal dalam Program MPMBS di Sekolah Menengah



Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tutjuan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Sekolah memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola dan pengambilan keputusan partisipatif.

MPMBS bertujuan memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu output sekolah. Sehingga masing-masing sekolah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dalam hal input dan output.
(Depdiknas, 2000).

Karakteristik MPMBS adalah program pendidikan dengan kurikulum yang berbasis kedaerahan, dimana setiap sekolah dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan berdasar pada keunggulan lokal. Lingkungan dan potensi daerah perlu dimasukan dalam kurikulum pembelajaran, sehingga siswa bisa belajar dan mengembangkan potensi diri dan daerahnya, sesuai  keadaan dan kemampuan yang didasarkan pada keunggulan lokal.

MPMBS ini memungkinkan lembaga pendidikan memasukan kurikulum yang berbasis kinerja dan ketrampilan bagi siswa. Dengan program ini diharapkan siswa di daerah/desa akan berbeda dengan siswa di perkotaan. Kurikulum pembelajaran dituntut untuk menyesuaikan keadaan, dimana kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa akan berkembang berdasarkan kebutuhan di daerahnya masing-masing. Sehingga siswa setelah lulus sekolah, tidak harus mencari pekerjaan ke kota, tetapi cukup di daerahnya sendiri untuk bisa mengembangkan dan memanfaatkan hasil pembelajaran dari sekolahnya.

Sekolah yang bertempat di desa, maka harus mengembangkan potensi daerahnya melalui pembelajaran di kelas. Misalnya sekolah desa yang mempunyai keunggulan lokal bidang pertanian, maka sekolah tersebut harus memasukan kurikulum pertanian melalui mata pelajaran Muatan Lokal Pertanian. Tentu program ini sangat  bermanfaat bagi siswa yang tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya bertani. Sehingga, apabila siswa hanya mampu sekolah pada tingkat SLTP dan tidak bisa melanjutkan ke SLTA, siswa tersebut sudah mempunyai bekal untuk bertani yang baik dan benar.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu perlu pembimbing yang sesuai dengan bidangya.  Oleh karena itu sekolah dengan dana yang cukup, pembimbing tidak harus guru yang mengajar setiap harinya, tetapi bisa bekerja sama dengan instansi terkait, tokoh masyarakat dan para ahli professional di bidangnya. Apabila yang menjadi keunggulan lokal bidang pertanian, maka bisa meminta bantuan dari Dinas Pertanian untuk bisa membimbing serta memberikan pelatihan siswa di sekolah dan apabila yang menjadi keunggulan lokal adalah bidang garment, maka sekolah bisa meminta tokoh masyarakat yang bisa membuat pakaian (penjahit), untuk bisa membantu membimbing siswa dalam hal ketrampilam membuat pakaian (menjahit).

Untuk itu pemerintah perlu menggelontorkan dana dalam bentuk program kontrak kerja Biaya Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Agar bisa berjalan maksimal, satu program kerja (satu mata pelajaran) minimal di alokasikan  dana pendamping sebesar Rp 30.000.000’-.

Jadi, siswa sekolah pinggiran/daerah terpencil/desa, tidak perlu mempelajari jenis mata pelajaran yang berifat umum. Siswa tidak harus belajar materi UN/UNAS sampai menghabiskan energi yang berlebihan. Sebab, materi UN/UNAS SLTP akan menjadi limbah bagi siswa yang tidak melanjutkan ke SLTA, begitu juga materi UN/UNAS SLTA tak begitu berguna bagi siswa yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Buat apa nilai UN/UNAS …?
Siswa yang lulus SLTP kemudian menjadi peternak, petani, penjahit, pengusaha garment, hal ini tidak perlu bersusah-payah untuk mendapatkan nilai UN/UNAS yang bagus. Tetapi yang terpenting adalah pembelajaran yang bersifat ketrampilan dan aktual. Karena materi UN/UNAS adalah mata pelajaran yang bersifat abstrak dan kurang arif. Sementara siswa perlu mata pelajaran yang arif dan aktual, untuk mengembangkan potensi diri dan daerahnya, dengan berbasis ekonomi kreatif. Dengan program ini, otomatis akan tercipta lapangan-lapangan kerja baru.







Pergi Tak Sarapan, Tanpa Uang Saku dan Pulang Sekolah Baru Mulai Memasak.



Siswa di salah satu SMP di Klaten, pergi sekolah tanpa sarapan dan tanpa uang saku. Sesampai di sekolah, siswa tersebut meminta uang temannya dengan paksa (memalak). Puluhan temannya telah menjadi korban pemalakan. Setiap teman diminta antara Rp 500,- sampai Rp 1000,-. Setiap hari ada dua anak yang dimintai uang, dan hari berikutnya meminta teman yang lain. Dalam meminta uang, memilih teman laki-laki yang dianggap penakut secara bergiliran dan dengan ancaman tertentu. Apabila temanya tidak memberi uang, mereka diancam akan dipukuli atau di keroyok teman-temannya.

Ada beberapa teman yang menjadi langganan untuk dimintai uang. Sehingga, anak yang menjadi langganan tersebut harus menyembunyikan uangnya di dalam sepatu, agar si-pemalak tidak tahu. Sebab, kalau sedang meminta dan dijawab tidak punya, si-pemalak tidak percaya lalu menggeledah saku baju dan celana calon korbannya.

Dalam satu tahun, si-pemalak berhasil memalak teman-temannya ± Rp 750.000,-. Namun, uang pamalakan itu tidak semuanya di pakai sendiri. Sebab, ada beberapa teman sekelasnya yang juga diajak untuk menikmati uang tersebut. Karena uang tersebut tidak selalu dihabiskan untuk jajan di kantin sekolah, tetapi untuk jajan di warung kucing dekat rumah si-pemalak.

Kasus ini terungkap setelah ada laporan salah satu orang tua siswa yang menjadi korban pemalakan kepada pihak sekolah. Selanjutnya pihak sekolah melakukan klarifikasi ke beberapa pihak. Dan ternyata, pemalakan ini telah dilakoni selama 2 tahun, sejak si-pemalak baru kelas VII dan baru terungkap setelah si-pemalak kelas VIII.

Profil si-Pemalak.
Si-pemalak adalah dari keluarga miskin di Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Setiap harinya, tinggal di rumah sederhana bersama adik perempunnya yang baru kelas VI SD. Bapaknya berdagang es di kota Cilacap, Ibu dan Kakaknya mencari nafkah di Kalimantan. Praktis dua anak ingusan ini hidup sendiri tanpa pengawasan dan bimbingan orang tuanya. Sementara sanak famili dan tetangganya, tak pernah peduli dengan anak-anak ini.

Dalam setiap bulanya, kedua anak ini dikirimi uang dari orang tuanya untuk biaya hidupnya. Menurut pengakuannya, uang kiriman tidak cukup untuk biaya hidup satu bulan. Setiap pagi berangkat ke sekolah, kedua anak ini tidak pernah sarapan dan ketika pulang sekolah ± pukul 13.00 WIB, kedua anak ini tidak bisa langsung makan tetapi harus memasak dulu. Setelah ± pukul 14.30 WIB, kedua anak ini baru bisa makan. Jenis menu makannyapun, setiap hari hanya nasi, kerupuk dan mie instant.

Berangkat ke sekolah sering terlambat, dan baru pukul 09.00 WIB, anak ini sudah mengantuk dan tidur, kepalanya ditaruh diatas meja belajar. Pekerjaan rumah (PR dari sekolah) tidak pernah dikerjakan. Didalam kelas tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga selalu menjadi bulan-bulanan guru yang sedang mengajar. Sering dikeluarkan dari kelas karena anak ini tidak membawa buku pelajaran, tidak mengerjakan tugas dari guru dan tidak memperhatikan gurunya yang sedang mengajar. Setiap ulangan selalu mendapatkan nilai yang jelek/dibawah rata-rata kelas, sehingga saat pembagian raport nilanya selalu ranking terbawah di kelasnya.

Setiap di panggil ke kantor guru atau Bimbingan Konseling (BP), anak ini selalu menunjukan sikap penyesalannya, sambil menangis. Selalu berjanji untuk tidak melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, tetapi di lain waktu selalu mengulang-ulang pelanggaran tata tertib. Badan kurus, muka pucat, baju kumal dan seperti tidak pernah mandi dan anak ini sepintas  kelihatan kurang sehat. Dalam pergaulan, anak ini kelihatan kurang percaya diri, mudah tersinggung dan marah.

UUD 1945 Bab XIII, pasal 31, Ayat 1…(Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran).
UUD 1945 Bab XIV, pasal 34…(Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara).

Fenomena ini hanyalah salah satu contoh profil pelajar Indonesia di tahun 2008. Sementara kisah nyata yang mirip dengan fenomena ini jumlahnya jutaan pelajar, bahkan tersebar di seluruh wilayah Indonesia tak terkecuali di kota metropolitan, Jakarta.









Global Warming.



Pemanasan Global (Global Warming) adalah dimana manusia sebagai makluk social dan sekaligus makluk Tuhan, telah melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari akhidah agama. Manusia berbuat tanpa memperhitungkan dampak yang akan terjadi, sehingga perbuatan manusia tersebut merusak alam. Segala kehidupan sudah tidak lagi nyaman, dimana-mana terjadi perusakan dan pembunuhan makluk hidup. Ekosistem telah hancur, jaringan kehidupan sudah putus dan kehidupan tak lagi mampu melakukan regenerasi. Dengan demikian segala kehidupan spesies  akan teracam punah, dan yang tersisa hanyalah bermacam-macam penyakit. Sementara lapisan ozzon mulai menipis yang akhirnya sinar matahari dengan mudah membakar bumi dan seisinya.

Akibat Global Warming …
1.     Hujan badai, hujan es dan kekeringan
2.     Gempa bumi, Gelombang Tzunami
3.     Semburan Lumpur lapindo
4.     Keluarnya bola-bola api di lautan
5.     Epidemi 30 jenis penyakit baru (Flu burung, antrax, dll)
6.     Abrasi pantai
7.     Kesulitan air bersih, Mencairnya es di kutub
8.     Perubahan iklim secara ekstrem, Gagal panen
9.     Naiknya air permukaan laut
10. Jatuhnya perekonomian (Krisis Global)

Menurut Stephen Hawking, ahli Fisika…
“Hati-hati, ancaman perang nuklir sudah lenyap, tetapi bakal ada yang jauh lebih parah. Kalau perang dunia hanya membunuh ratusan ribu orang, tetapi Global Warming bisa membunuh jutaan orang”.

Menurut Gregroy R. dari Universitas terkenal di AS…
“Pemanasan Global bisa menyebabkan ledakan gas metana yang besarnya 10.000 kali lipat dari pada ledakan yang ditimbulkan seluruh nuklir di dunia. Juga bisa menyebabkan lautan api dan banjir yang maha besar sehingga menyebabkan kepunahan 90% spesies laut dan 75% spesies darat”.

Menurut Zwally dari Naza…
“Es di kutub akan jadi lenyap pada akhir musim panas 2012. Konon es di kutub berfungsi memantulkan 80% panas matahari yang sampai ke bumi. Kalau es menyusut, maka air laut makin hangat, bumi makin panas. Lalu gas metana terlepas dari lautan. Gas yang terlepas akan membunuh semua spesies di dunia”.

Menurut Mrs. Martin dari Universitas Chicago…
“Kalau kita tidak makan daging, ikan, unggas, susu dan telur maka kita akan dapat mengurangi 50% pemanasan global yang timbul dari tubuh kita”.

Menurut Rajendra Kumar Pachauri, ketua IPCC (Panel Perubahan Iklim).
Untuk melawan Global Warming dengan tidak makan daging, kendarai sepeda, dan berhematlah.

Apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan Global Warmming…?
1.     Pangkas penyebab utamanya : yaitu dengan menjadi vegetarian/tumbuh-tumbuhan (hindari makanan berlemak seperti susu, daging, ikan, dan tas kulit, dsb).
2.     Pangkas penyebab sampingnya : yaitu pemborosan energi, menggunakan barang-barang yang merusak lingkungan.
3.     Lakukan penghijauan (Be Green).
4.     Tingkatkan beribadah dan berdo’a kepada Tuhan.

Sumber dari : buku saku “Stop Global Warming”
www.SupremeMasterTV.com / www.greenpeace.org









Ijazah Ilegal/Palsu, Pendidik Jahat, Kejahatan Pendidikan.



Koordinator Kopertis Wilayah V DIY Budi Santoso Wignyo Sukarto menyatakan pihaknya telah mengambil tindakan tegas, terkait dengan perpanjangan penyelenggaraan izin  Program Studi Bimbingan Konseling STKIP (Sekolah Tinnggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Catur Sakti yang berada di Kabupaten Bantul, provinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakrta). Progarm Studi itu telah terbukti menerbitkan 1.463 ijazah illegal dan transkrip palsu selama tahun 2002 – 2008.
(Suara Merdeka, 4 Maret 2009).

Dunia pendidikan tercoreng dengan ulah oknum-oknum pendidik. Karena sebagian besar penerima ijazah palsu adalah guru. Begitu mudah dan cepat dalam mendapatkan ijazah tersebut, menjadikan perguruan tinggi yang bersangkutan menjadi alternatif para guru yang kemampuannya akademiknya lemah. Tanpa dituntut untuk wajib hadir dalam setiap perkulihan dan tak ada tuntutan penulisan karya ilmiah yang bertele-tele, mereka dengan mudah mendapatkan ijazah hanya dengan menyediakan sejumlah uang kepada pihak-pihak tertentu.

Bagaimana mungkin, mahasiswa tidak pernah ikut kuliah, tidak ikut ujian, tidak pernah membuat karya tulis tiba-tiba terbit transkrip nilai. Entah nilainya baik atau buruk, yang pasti mereka bisa  lulus. Selanjutmya mereka dengan perasaan senang atau terkejut bahkan terheran-heran, karena mendapat undangan wisuda. Setelah diwisuda, mereka benar-benar seorang guru yang sudah sarjana/S1/D4. Tanpa dipungkiri lagi, bahwa mereka yang habis diwisuda sangat puas dengan gelarnya yang baru, walau sebenarnya didalam benak hatinya adalah tersimpan kemunafikan yang mendalam.

Dibalik animo pencarian ijazah sarjana tersebut tak lepas dari program peningkatan kesejahteraan guru yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan ijazah sarjana/S1/D4, bisa untuk syarat kenaikan pangkat dan syarat portofolio untuk mendapatkan tunjangan profesi guru. Besarnya tunjangan profesi, menjadikan guru-guru menghalalkan segala cara, walau cara-cara tersebut tidak pantas ditiru oleh peserta didiknya.

Menurut Budi Santoso WS, ada sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) DIY yang terindikasi melakukan praktik penerbitan ijazah palsu. Bahkan tidak hanya di DIY tetapi PTS yang tersebar diseluruh Indonesia. Ada sejumlah PTS diluar DIY yang meluluskan mahasiswanya dengan waktu yang sangat singkat. Sehingga, mahasiswa ini bisa dikategorikan menerima ijazah aspal (asli tapi palsu). Ijazah aspal ini banyak dicari bagi mereka yang sudah bekerja di instansi tertentu. Kebanyakan mereka sudah pernah kuliah, tetapi belum sarjana. Jadi mereka mengikuti  kuliah penyetaraan dari jenjang D1/D2/D3 ke jenjang S1/D4, atau mereka sudah sarjana program ilmu Non Kependidikan kemudian mengambil program Ilmu Kependidikan untuk mendapatkan Akta IV sebagai syarat mengajar atau menjadi guru.

Bagaimana dengan kinerja pendidik yang jahat, hal ini perlu diwaspadai secara serius. Karena dikawatirkan akan menciptakan peserta didik yang juga jahat. Sebab, pendidik adalah garda terdepan Negara untuk menciptakan kondisi bangsa.




SK Pendidik Palsu, Kejahatan Dunia Pendidikan.



Ada apa lagi dengan dunia pendidikan Indonesia…?
Inspektorat Daerah Kulonprogo, Yogyakarta membongkar kasus Surat Keputusan (SK) Penetapan Angka Kredit (PAK) yang diindikasikan palsu. Jumlah total mencapai 173 dari 185 SK terhitung sejak tahun 2006 sampai dengan 2008. Hendro Purnomo Sigit selaku Inspektur Daerah mengungkapkan, kecurigaan pihaknya bermula ketika banyak pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan naik pangkat terutama dari golongan IV A ke IV B.
(Suara Merdeka, 4 Maret 2009).

Pangkat Jendral, Gaji Kopral…!
Kelemahan akademik dan rendahnya moral seorang guru, memungkinkan oknum guru menghalalkan segala cara. Alasan  kesejahteraan dan kebanggaan sebuah pangkat, selalu yang di agung-agungkan seorang pegawai dengan gaji yang sangat minim. Dengan kesibukan yang luar biasa, hasil tak memadai, masih harus menghadapi sejumlah peserta didik yang sering membuat guru tak nyaman. Bahkan pihak orang tua siswa yang menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, menjadikan seorang guru  penuh masalah dan serba salah.

Tetapi dengan alasan apapun, seorang pendidik harus bisa memberikan tauladan tidak hanya kepada siswanya, tetapi juga kepada semua orang. Dimana seorang guru tinggal di kampungnya, selalu menjadi rujukan segala masalah yang timbul di kampungnya tersebut. Masyarakat memandang guru adalah pekerjaan yang paling mulia. Tugas berat untuk mencerdaskan bangsa dan ujung penentu pembentukan sikap bangsa Indonesia.

Jadi apa bangsa ini nanti, kalau pendidik bermoral preman…?
Tentunya fenomena ini hanya sebagian kecil yang terungkap pihak yang berwenang. Dibeberapa daerah di Indonesia, dimungkinkan juga terjadi praktik-praktik serupa. Selain SK palsu, banyak guru yang memanfaatkan biro jasa pembuatan karya ilmiah. Karena banyak iklan-iklan yang dipasang dipinggir jalan dengan menawarkan bantuan untuk membuat karya tulis, dan juga di lembaga-lembaga peningkatan mutu guru, mereka melakukan pelatihan dengan harapan perserta  akan menjadi pasien dalam pembuatan karya tulis ilmiah. Sehingga, daripada susah-susah menulis sendiri, lebih enak  memesan dengan sejumlah uang, dalam waktu tertentu karya ilmiah sudah siap untuk mendapatkan nilai sebagai syarat kenaikan pangkat.

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa 90% guru tidak bisa membuat karya tulis ilmiah. Yang mereka bicarakan sehari-hari adalah harga sebuah karya tulis, pesan kepada siapa dan berapa harga satu buah karya tulis. Biro jasa menawarkan dengan harga paket, artinya satu karya tulis dengan harga tertentu. Apabila ada kesalahan tulis atau revisi isi tulisan, maka biro jasa siap melakukan perbaikan hingga karya tulis tersebut benar-benar diterima  tim penilai karya tulis pada instansi terkait.

Mengapa banyak guru yang tidak bisa membuat karya tulis ilmiah…?

1.     Tidak punya buku-buku referensi,
2.     Malas membaca buku-buku referensi,
3.     Miskin pengetahuan ilmiah,
4.     Tidak biasa berpikir ilmiah,
5.     Pola berpikir tradisional,
6.     Merasa sudah pintar,
7.     Merasa tidak punya cukup waktu,
8.     Tidak biasa menulis,
9.     Tidak ingin maju,
10. Waktu kuliah, Skripsinya buatan orang lain,

Bagi pemalsu SK tidak hanya diturunkan pangkatnya, tetapi harus diberikan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Pihak pengguna SK dan pihak pembuat SK harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tidak pantas lagi ditiru peserta didik dan akan merusak moral bangsa. Dengan kejadian tersebut, akan muncul konplik saling menyalahkan antara pihak pendidik dengan pihak instansi terkait. Kenyataannya, memang kedua belah pihak sudah cukup mengkhawatirkan dunia pendidikan Indonesia.
Yang pasti,  penjahat dunia pendidikan Indonesia.







HP Sebagai Alat Untuk Meminta Pertolongan

HP-ku tiba-tiba berbunyi tanda ada SMS (Short Massage Sevice) masuk. Setelah kubuka ternyata ada tulisan “Mas tolong, Aku Jatuh” artinya temanku meminta pertolongan karena terkena kecelakaan. Setelah aku minta konfirmasi, temanku memberi penjelasan mengenai tempat kejadian dan apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya. Setelah aku mengetahui tempat kejadian kecelakaan, selanjutnya aku dan kakakku membawa mobil bak terbuka meluncur kelokasi kejadian. Selanjutnya temanku yang sakit masuk mobil dan sepedanya juga dinaikan diatas bak mobil. Teman yang sakit diantar ke rumah sakit, lalu sepeda diantar kerumahnya sekaligus memberitahu keluarganya.

Cerita tersebut diatas merupakan kisah yang benar-benar terjadi pada hari minggu tanggal 10 Mei 2009. Saat itu aku sedang mencari artikel materi pelajaran biologi di Warung Internet. Begitu aku dapat SMS dari temanku yang minta tolong karena terkena kecelakaan, maka aku cepat-cepat pulang selanjutnya meluncur menuju lokasi dimana temanku terkena kecelakaan. Dalam waktu 15 menit, aku sudah sampai lokasi kejadian dan langsung melakukan pertolongan.

Setelah selesai melakukan pertolongan dan memberi khabar keluarganya, aku istirahat sambil merenungi insiden  yang baru saja terjadi pada temanku. Dalam renunganku, aku memuji orang yang menciptakan alat telekomunikasi. Begitu ada kejadian dan memerlukan pertolongan, maka alat komunikasi itulah sebagai senjata utama untuk mencari bala bantuan. Dengan biaya yang cukup murah namun bisa digunakan secara efektif.

HP di Sekolah…
Beberapa sekolah setingkat SD dan SLTP melarang siswanya untuk membawa HP ke sekolah. Karena sekolah khawatir kalau HP tersebut mengganggu dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelas. Disamping itu banyak siswa yang menggunakan HP untuk kegiatan yang negatif, misalnya tukar menukar gambar porno. Namun tidak sedikit yang menggunakan HP untuk kegiatan positif seperti menolong teman sekolah yang kecelakaan ketika baru pulang sekolah. Bahkan pernah terjadi ketika temanku baru berangkat sekolah mangalami kecelakaan di jalan. Lalu temanku itu SMS gurunya dan selanjutnya guru tersebut memberikan pertolongan.

Pembinaan Penggunaan HP…
Di SMP Negeri 3 Bayat Klaten telah dilakukan pembinaan dalam penggunaan HP yang baik, yaitu cara menggunakan HP yang Sopan Santun Menolong (S2M). Artinya siswa dibina agar dalam menggunakan HP harus menyesuiakan dengan skala prioritas dalam kebutuhannya. Siswa harus sopan dan santun dalam berbicara dan dalam menulis SMS. Disamping itu pulsa dijaga jangan sampai habis, sebab kalau ada berita yang sifatnya darurat tetap bisa digunakan. Tentunya berita darurat itu hal-hal yang menyangkut masalah sosial seperti  teman yang meminta pertolongan.

Teknologi diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi umat manusia. Begitu praktis dan efektifnya suatu alat, maka hampir semua orang bisa menggunakan dengan leluasa. Ada yang menggunakan untuk kepentingan positif, namun tidak sedikit yang menyalahkangunakan teknologi. Hal ini terjadi pada alat telekomunikasi yang mendunia seperti HP. Manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial, seharusnya menggunakan HP untuk kepentingan sosial. Dengan demikian pengguna HP akan lebih menghargai dan memahami suatu benda dari segi positif.

Fenomena ini bisa sebagai inspirasi bagi penulis dan sekaligus masyarakat umum untuk  bisa memanfaatkan HP secara S2M (Sopan Santun Menolong).









Pengelolaan Keuangan Sekolah Tidak Transparan       



Standard Pengelolaan Pendidikan, Bidang Keuangan dan Pembiayaan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas No. 19 Tahun 2007) yaitu :

Butir b, 4 bahwa “pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran, untuk dilaporkan kepada komite sekolah/madrasah, serta institusi di atasanya”.  

Butir d bahwa “ pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah untuk menjamin tercapainya pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel”.

Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, berpotensi terjadinya penyalahgunaan dana investasi sekolah untuk kepentingan pribadi atau oknum-oknum tertentu dalam lingkungan lembaga pendidikan. Oknum-oknum tersebut adalah kepala sekolah, bendahara sekolah dan komite sekolah. Sementara warga sekolah yang lain seperti guru, karyawan, siswa dan masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Sehingga sering mendapatkan kritik pedas dari warga masyarakat yang peduli dengan dunia pendidikan. Namun kritikan tersebut membuat oknum tidak menjadi gentar, tetapi malahan semakin merajalela karena masyarakat dianggapnya bodoh dan tidak tahu manajemen keuangan.

Peran Komite Sekolah
Pembentukan Komite Sekolah didasarkan pada UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas). Kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan No. 044/U/2002 yang merupakan acuan pembentukan komite sekolah. Prinsip dari pembentukan komite sekolah didasarkan pada prakarsa masyarakat yang peduli pendidikan. Peran  komite sekolah adalah melakukan evaluasi dan pengawasan dalam pengelolaan dana sekolah dan bersama pihak sekolah melaporkan serta mempertanggungjawabkan kepada otoritas yang lebih tinggi dan masyarakat umum. Namun peran komite lebih condong/memihak pada sekolah dari pada membela kepentingan siswa dan masyarakat.

Program Sekolah Gratis
Digulirkannya program sekolah gratis untuk SD dan SMP Negeri mulai Januari 2009, membuat pihak sekolah berteriak-teriak lantang dengan alasan dana yang alokasikan pemerintah tidak cukup. Padahal pemerintah sudah memperhitungkan dengan seksama bahwa dana tersebut cukup untuk biaya operasional pendidikan. Mereka yang berteriak-teriak itu adalah oknum yang sudah biasa menikmati dana investasi sekolah. Sebelum digulirkan program sekolah gratis, dana investasi sekolah bisa untuk bancakan oknum-oknum di sekolah dan sekarang oknum-oknum tersebut gigit jari sambil menahan nyerinya sakit kepala.

Beberapa Kegiatan Ditiadakan
Akhirnya kegiatan-kegiatan yang dianggap tidak penting ditiadakan dengan alasan dana tidak ada. Padahal kegiatan tersesbut sangat disukai siswa seperti ekstrakurikuler Pramuka, PMR, KIR, Komputer dan lain sebagainya. Sehingga siswa hanya dijejali ilmu-ilmu yang bersifat pengetahuan (kognitif). Pembelajaran dari aspek afektif dan psikomotorik tidak pernah tersentuh, dengan demikian siswa mengalami kejenuhan, bosan,  dan tidak nyaman lagi di sekolah. Tentunya siswa mudah terserang stress, depresi, tertekan dan mudah tersinggung. Didalam kelas siswa biasa berkelai, melawan guru atau menciptakan kesibukan sendiri dari pada mendengarkan mengikuti pelajaran. Siswa mestinya memecahkan suatu masalah dalam pelajaran tetapi siswa sekarang lebih senang memecahkan kaca-kaca jendela kelas.

Pengelola Dana Investasi Sekolah Menghambat Kemajuan Pendidikan   



Guru-guru Indonesia belum mampu berkompetensi dalam  era pengetahuan. Guru lebih banyak menjadi konsumen dari pada produsen, sehingga kualitas pembelajaran pada perserta didik tidak siap, ungkap Prof. Amat Mukhadis pada seminar bertema “Inovasi Pembelajaran pada Pendidikan Dasar untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dan Mutu Sertifikasi Guru” (Suara Merdeka, 15 Juni 2009).
Departemen Pendidikan Nasional akan merumuskan 3 kompetensi kunci untuk melengkapi system kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini sedang diimplementasikan di sekolah-sekolah, (Suara Merdeka, 27 Mei 2009).
E-learning adalah model pembelajaran elektronik, yang mengusung teknologi digital sebagai medium utama proses pembelajarannya. E-learning juga disebut sebagai bentuk pembelajaran yang diperkaya oleh teknologi digital, (Suara Merdeka, 5 Maret 2009).
Penguasaan Teknologi Informasi tunjang profesionalitas guru. Peran TI sangat strategi untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar di kelas maupun dalam bidang majemen system pendidikan, (Suara Merdeka, 28 Januari 2009).

Penggalan-penggalan tulisan tersebut menunjukan bahwa baik-buruknya kualitas pendidikan seolah-olah ditentukan pada metode yang dipakai guru dalam mengajar. Tak henti-hentinya pakar-pakar pendidikan berteriak lantang menyuarakan pentingnya metode pembelajaran. Guru selalu menjadi obyek penderita bagi dunia pendidikan. Guru selalu pada pihak yang lemah namun dituntut harus menjadi seorang hero yang mampu merubah bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang superior.

Mengapa hanya metode pembelajaran yang jadi obyek…?
Pakar pendidikan lupa bahwa pendidikan tidak hanya metode mengajar, tetapi yang tidak kalah penting adalah Standard Pengelolaan Pendidikan, Bidang Keuangan dan Pembiayaan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas No. 19 Tahun 2007).

Kurang transparannya pengelolaan keuangan sekolah, khususnya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, sering diteriakan masyarakat melalui media masa,(Suara Merdeka, 16/1/ 2009).
Tidak transparannya pengelolaan keuangan, berakibat banyak dana investasi pendidikan yang tidak sesuai peruntukannya. Guru dan karyawan diharuskan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak diberi uang imbalan, sehingga guru tersebut manjadi malas bekerja dan tidak produktif. Fasilitas pendidikan dan alat peraga pembelajaran tidak pernah diadakan, sehingga pembelajaran hanya berkisar tulis-menulis yang  monoton dan membosankan siswa.

Kemana larinya dana pendidikan…?
Yang tahu larinya dana pendidikan adalah bendahara sekolah dan oknum yang lain. Sementara guru, siswa dan masyarakat tidak tahu, karena tidak adanya laporan dana investasi secara transparan. Sementara peran komite terdistorsi (peran dan fungsi komite membuat kepercayaan masyarakat semakin tipis). Seolah-olah peran komite sebagai pengacaranya sekolah atau selalu berpihak pada sekolah, (Suara Merdeka, 19 Pebruari 2009).

Cukupkah dana investasi untuk memajukan pendidikan…?
Dana investasi sekolah sangatlah cukup untuk kemajuan pendidikan. Sumber dana investasi berupa  BOS dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dana rutin dari pemerintah dan dana dari donatur. Pada sekolah setingkat SLTP dengan jumlah 480 siswa, setahun bisa terkumpul dana investasi tidak kurang dari 500 juta. Namun sekolah tersebut tidak ada tambahan fasilitas pendidikan yang berarti dan guru semakin tidak produktif karena tidak pernah menikmati hasil kerja kerasnya alias guru hanya kerja gotong-royong seperti relawan.

Apabila pengelolaan dana investasi sekolah benar-benar sesuai peruntukannya, sekolah-sekolah di Indonesia sudah lebih maju dan mampu bersaing dengan dunia pendidikan di Negara-negara Eropa. Namun sebaliknya, pelajar Indonesia sekarang ini sangat jauh ketinggalan alias gaptek (gagap teknologi) dengan negara-negara Eropa. Berarti salah satu yang menghambat kemajuan pendidikan Indonesia adalah pengelola dana investasi alias bendahara sekolah dan oknum lainnya.









Dana Bos Untuk Honorarium Guru Bersertifikat Profesional



Masalah penghasilan tambahan berupa kesejahteraan dan lain-lain bagi guru tidak terlepas dari deskripsi Tugas Guru. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) nomor 84 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka kreditnya, salah satu tugas pokok guru adalah merencanakan program, melaksanakan progam, mengevaluasi, menganalisisi hasil evaluasi dan melaksanakan tindak lanjut hasil evalusi, hal ini dinilai sebagai unsur utama dalam penilaian angka kredit, (Suara Merdeka, 19 Januari 2009).

Guru yang sudah bersertifikat pendidik profesional berhak mendapatkan tunjangan profesi. Tujuan pemberian tunjangan adalah untuk meningkatkan kinerja sebagai guru yang professional. Namun tunjangan diberikan dengan syarat guru tersebut harus memenuhi 24 jam tatap muka.

Minimnya jam pada suatu sekolah membuat para guru bersrtifikat profesional saling berebut jam sekedar untuk memenuhi syarat 24 jam tatap muka. Namun ada tugas-tugas tambahan tertentu yang bisa dipakai untuk memenuhi syarat tersebut. Antara lain : wali kelas, ketua program studi, guru piket, kepala laboratorium, wakil kepala sekolah, pembantu kepala sekolah, bendahara BOS dan lain sebagainya.

Tugas-tugas tambahan tersebut bisa diperhitungkan dalam angka kredit kenaikan pangkat dan penilaian portofolio sertifikasi. Namun tugas tambahan tersebut mengakibatkan sekolah harus memberikan honorarium. Honorarium pada tugas-tugas tambahan itu dianggap sebagai uang kesejahteraan para guru. Sehingga ada beberapa tugas tambahan yang menjadi rebutan, selain  honornya menggiurkkan juga bisa mengangkat practice jabatan seorang guru. Akibatnya sering timbul konflik horizontal pada intern sekolah.

Wajarkah mereka mendapat honorarium…?
Kembali pada tugas pokok seorang guru, tentunya tugas-tugas tambahan tersebut tidak pantas diterimakan pada guru bersertifikat professional, karena tugas tambahan sudah merupakan bagian dari tugas pokok guru. Tugas tambahan untuk memenuhi syarat 24 jam tatap muka, berarti tugas tambahan tersebut telah di gaji oleh negara. Jadi apabila ada guru bersertifikat profesional menerima honorarium dari tugas tambahan, berarti guru tersebut menerima gaji tidak wajar, sebab honorarium tersebut diambil dari dana BOS. Akibatnya sekolah menghapus kegiatan-kegiatan siswa seperti ekstrakurikuler, karena dana BOS dipakai untuk honorarium guru-guru bersertifikat professional.

Tugas tambahan diluar jam sekolah…?
Tugas tambahan yang dilaksanakan diluar jam sekolah masih bisa ditolerir, karena tugas tersebut bukan dari bagian tugas pokok guru. Tugas tambahan diluar jam sekolah misalnya  pembimbingan siswa yang berkaitan dengan pengembangan bakat siswa seperti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, PMR, UKS dan sebagainya.

 Apakah pemberian honorarium tersebut dilarang…?
Sampai dengan ditulisnya artikel ini, pemerintah belum melarang dan belum juga membuat aturan yang jelas. Pemerintah perlu membuat aturan dan  petunjuk dalam pemberian honorarium tugas-tugas tambahan seorang guru. Dana yang semestinya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, malahan dipakai untuk honorarium guru-guru bersertifikasi profesional.

Apakah semua sekolah honorarium sama…?
Inilah yang menjadi inti masalah.  Karena belum ada aturan dan petunjuk  yang jelas, maka sekolah yang satu dengan sekolah yang lain bisa berbeda-beda besarnya honoraroium. Bahkan ada beberapa sekolah yang tidak memberikan honorarium karena sekolah tersebut sedang kesulitan keuangan.

Dana yang dipakai untuk honorarium guru-guru tersebut cukup besar dan tidak begitu berpengaruh pada kualitas pembelajaran. Mestinya dana itu dipakai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan langsung bisa dinikmati oleh yang berhak yaitu siswa. Bagi para guru yang sudah bersertifikat professional dan masih menerima honorarium tugas tambahan, sebaiknya mencoba untuk bersikap jujur dan adil. Dana BOS adalah dana yang diperuntukan bagi siswa dari keluarga yang benar-benar miskin.










E-Book, BOS Buku Versus Budaya membaca dan Manulis



Pakar pendidikan Said Hamid Husein mengatakan kebijakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) sejauh ini tidak efektif bagi sekolah miskin dan sekolah yang berada didaerah terpencil. BSE hanya bisa diakses oleh sekolah kaya dan berada dikota, karena untuk mengakses BSE harus dengan fasilitas komputer dan jarinagn internet, (Suara Merdeka, 17 Juni 2009).

Pemerintah melalui Sekretaris Jendral Departemen Pendidikan Nasional menyiapkan Bantuan Opersional Sekolah (BOS) buku teks pelajaran untuk siswa SD dan SMP senilai Rp 3 triliun. Dana ini untuk pengadaan buku teks lima mata pelajaran badi siswa SD dan SMP, (Suara Merdeka, 20 Juni 2009).

Apakah kalau ada BSE, urusan pendidikan selesai…?
Masalah kualitas pendidikan tidak cukup dengan pengadaan buku secara gratis. Program BSE telah diluncurkan namun kurang efektif. Proses untuk memiliki buku BSE perlu fasilitas yang mahal yaitu selain SDM guru dan siswa juga fasilitas Komputer yang memadai. Guru-guru di Indonesia 75% tidak bisa computer dan  siswa 60% dari keluarga kurang mampu. Sementara untuk mengakses internet membutuhkan dana yang cukup mahal.

Untuk apa BOS buku…?
Karena BSE dirasa kurang efektif dan cukup mahal, maka tindakan selanjutnya adalah pemerintah menggelontorkan dana Rp 3 triliun, berupa program BOS Buku untuk siswa SD dan SMP. Dengan program ini diharapkan siswa SD dan SMP tak lagi kekurangan buku teks pada beberapa mata pelajaran.

Seperti apa Budaya membaca dan menulis guru…?
Persoalan yang paling mendasar pada dunia pendidikan di Indonesia adalah Budaya Membaca sangat rendah.  Fenomena yang terjadi dilapangan bahwa guru-guru di Indonesia sangat malas membaca. Tentunya budaya guru ini akan berpengaruh pada siswa pada umumnya. Terlihat 96% guru  di Indonesia tidak pernah bikin tulisan berupa artikel, buku modul, karya ilmiah dan sebagainya. Guru disekolah hanya mengajar, waktu luang digunakan untuk bergunjing alias omong kosong. Guru yang malas membaca tentu saja tidak bisa membuat tulisan dan jauh ketinggalan dibanding guru-guru di Eropha . Guru yang seperti ini ibarat katak dalam tempurung, sudah merasa pintar, merasa cendikia, merasa seorang pendidik yang super tahu dan merasa setiap omongannya menjadi panutan masyarakat. Padahal kenyataannya guru-guru tersebut miskin ilmu, ibarat Tong Kosong Berbunyi Nyaring.

Apakah Kemampuan baca anak SD dan SMP rendah…?
Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang juga Direktur Program Pascasarjana UNY Prof. Djemari Mardapi PhD mengemukakan bahwa berdasarkan suevei, kekmampuan baca siswa SD Indonesia tergolong rendah. Karena siswa Indonesia menduduki urutan ke-26 dari 27 negara yang disrvei. Demikian pula berdasarkan studi TIMSS-R tahun2000,siswa SMP kemampuan membacanya  juga rendah, (Suara Merdeka, 2 April 2008).

Pada kenyataan yang terjadi dimasyarakat dewasa ini bahwa pustaka belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting keberadaanya. Guru dan siswa lebih senang mendatangi kantin sekolah dari pada datang ke perpustakaan. Guru lebih tertarik membicarakan cerita sinetron daripada membicarakan jurnal karya ilmiah. Dianggapnya gedung perpustakaan hanyalah seonggok gudang tua yang angker dan buku dianggapnya hanyalah sampah-sampah.  Padahal  pustaka adalah jendela dunia, gudangnya ilmu pengetahuan dan merupakan guru yang paling setia.

Jadi, program BSE dan BOS Buku akan tidak efektif, karena guru dan siswa Indonesia bukanlah pembaca buku yang baik. Sejarah bangsa Indonesia mempunyai budaya membaca yang sangat rendah. Agar program BSE dan BOS Buku bisa berhasil, maka yang perlu diprioritaskan adalah program budaya membaca bagi masyarakat, guru dan pelajar.













PPD, Orang Tua Panik Carikan Sekolah Anaknya



Pemandangan baru dalam dunia pendidikan Indonesia setiap tahun pelajaran baru. Saat akan menghadai UNAS (Ujian Nasional) orang tua selalu berharap nilai NEM anaknya sangat memuaskan, dengan begitu akan mudah mencari sekolah yang diidamkan. Setelah lulus sekolah orang tua dibikin panik mencarikan sekolah anaknya. Pagi mendaftar siang atau sore datang lagi kesekolah untuk melihat pengumuman jurnal nilai  pendaftar. Harap-harap cemas dalam melihat jurnal tersebut karena jurnal itu menampilkan semua nilai pendaftar. Dimana posisi nilai anaknya berdasarkan ranking dari semua pendaftar.

Untuk apa jurnal nilai NEM…?
Bagi sekolah yang berpredikat baik atau favorit tentu pendaftar melebihi daya tampung, maka perlu dibuat jurnal ranking nilai semua pendaftar. Sekolah dalam menampilkan jurnal, ada yang mudah dipahami tetapi ada yang membingungkan orang tua siswa. Ada yang menampilkan jurnal secara terbuka tetapi ada yang kurang terbuka atau setengah hati bahkan ada yang tertutup. Sehingga membuat calon siswa bingung, bahkan ada orang tua siswa yang marah-marah.

Mengapa harus bingung…?
Mereka yang merasa bingung atau panik karena nilai NEM anaknya kurang bagus. NEM dengan nilai pas-pasan membuat orang tua semakin bingung. Apabila nilai NEM posisinya mendekati passing grade, maka calon siswa tersebut menjadi tidak jelas nasibnya. Bisa diterima atau tidak, tergantung pendaftar yang baru masuk nilainya berapa. Apa bila nilai NEM Si-A rata-rata 7 dan pendaftar dibelakangnya  dengan nilai NEM rata-rata 9, maka otomatis nilai NEM Si-A tersebut tergeser kebawah. Hal inilah yang membuat calon siswa dan orang tua siswa menjadi harap-harap cemas, setiap sore selalu melihat jurnal NEM untuk memantau perkembangan yang terjadi. Apabila nilai NEM dibawah passing grade maka calon siswa harus cepat-cepat  mencabut pendaftaran dan mendaftar pada sekolah yang passing grade-nya lebih rendah. Tentunya sekolah dengan predikat lebih rendah otomatis NEM otomatis passing grade-nya juga lebih rendah.

Calon siswa yang tidak bingung…?
Bagi mereka yang mempunyai nilai NEM rata-rata 9,5 atau sangat memuaskan, dipastikan mereka tidak mungkin bingung atau panik untuk memilih sekolah favorit. Calon siswa yang mempunyai nilai NEM rata-rata di atas 9 atau sangat memuaskan tidak perlu bingung untuk mendaftar di sekolah yang passing grade-nya 7,5. Karena nila NEM rata-rata 9 tentu saja tidak akan tergeser oleh pendaftar dengan nilai rata-rata 8,5  kebawah.

Kapan orang tua peduli dengan pendidikan anaknya…?
Fenomena inilah yang perlu dicermati untuk diambil hikmahnya sekaligus kritik buat orang tua siswa. Orang tua siswa tidak pernah peduli dengan belajar anaknya ketika masih di kelas bawah. Mereka peduli pendidikan ketika anaknya mendekati UNAS atau ketika membantu anaknya mencarikan sekolah. Bingung, panik, pusing dan capek yang dirasakan orang tua, tetapi masalah ini sudah terlambat. Yang paling mudah adalah meng-kambinghitamkan sekolah, guru dan anaknya sendiri. Nilai NEM rendah menganggap anaknya bodoh, menganggap sekolah jelek dan guru-guru dianggap tidak bisa mengajar.

Kapan guru disanjung…?
Obrolan warga digardu ronda bisa dipakai sebagai salah satu contoh. Apabila disuatu kampung ada anak sekolah yang berprestasi, mereka bertanya…: Anak Siapa/Cucu Siapa  dan Rumahnya mana. tetapi kalau ada anak sekolah yang nakal dan bodoh, mereka bertanya…: Sekolahnya dimana/Gurunya siapa  dan Seperti apa sekolahnya…?

Diskripsi diatas tak ada yang mengarah untuk memberi sanjungan atau pujian kepada seorang guru, tetapi masyarakat selalu meng-kambinghitamkan profesi guru. Kenyataanya memang guru tidak butuh sanjungan tetapi guru butuh uang cukup banyak agar bisa mengajar dan mendidik siswanya dengan baik. Penguasa bangsa yang baik hati, berikan gaji guru yang melimpah agar bisa meningkatkan kinerjanya dan menjadikan siswa cerdas, berprestasi dan mampu membangun bangsanya sendiri.











Mimpi Buruk Revolusi Pendidikan Berbasis Teknologi


Guru atau pendidik yang tak bisa bepacu dengan perkembangan teknologi dipastikan akan mengalami masalah. Guru bisa kalah dengan siswanya yang aktif meng-apdate pengetahuannya. Ini membuat para guru kehilangan kharisma dan wibawanya. Contoh seorang guru di Tiongkok tahun 2005 bunuh diri karena pengetahuannya kalah dengan siswanya yang didapat dari internet. Contoh lagi di Jerman seorang guru mengundurkan diri dari profesinya karena siswanya lebih pintar dalam mengakses internet pada saat jam istirahat (Ardhie Raditya, Suara Merdeka, 6 Juli 2009).

Diskripsi diatas adalah contoh kenyataan seorang guru  yang masih Gaptek (Gagap Teknologi). Guru yang tidak mengikuti perkembangan amat sangat menghambat perkembangan pendidikan dewasa ini. Idealnya guru harus menguasai ICT (Information Comunication Teknologi) dengan baik. Dengan demikian  proses pembelajaran bisa berlangsung dengan sempurna. Perkembangan pengetahuan dan teknologi selalu bisa dihadirkan disetiap pertemuan di depan kelas. Mungkin inilah gagasan saudara Ardhie Raditya yang merunut dari  “Revolusi Edukasi Berbasis Teknologi” gagasan Nicholas Negroponte, ahli komputer dari MIT-AS.

Gagasan tersebut memang sangat bagus untuk pendidikan di Indonesia. Namun yang perlu di pikirkan adalah kapan dimulai revolusi pendidikan berbasis teknologi. Tentunya guru-guru Indonesia sudah ketinggalan jauh dengan negara-negara Eropha. Tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali melakukan revolusi pendidikan. Revolusi pendidikan obyeknya adalah guru dulu, sehingga kemampuan guru tentang ICT bisa setara dengan siswanya.

Bagaimana guru-guru di Indonesia…?
Disalah satu SMP Negeri di Kabupaten Klaten mempunyai 42 guru. Dari 42 guru tersebut hanya 5 guru yang bisa mengoperasikan komputer dengan baik. Sementara dari 5 guru tersebut hanya 3 yang bisa mengakses internet. Dari 3 guru yang bisa mengakses internet, hanya 1 guru yang  aktif mengakses internet. Sementara yang 37 guru masih Gaptek dan tetap rajin bergelut dengan pensil, kapur, buku-buku tebal dan ceramah di depan kelas. Seorang guru Golongan IV A yang ingin memiliki komputer satu unit saja harus berpikir berulang-ulang. Ironisnya guru tersebut harus menggadaikan SK-nya di Bank untuk bisa membeli satu unit komputer. Yang lebih memalukan guru-guru di SMP tersebut tidak mau belajar komputer, gemetar mendekati komputer dan apabila disuruh belajar komputer merasa dirinya sudah terlambat.

Di SMP tersebut  mendapat beberapa guru baru. Guru-guru baru itu sarjana S-1 lulusan antara tahun 2000 sampai 2008. Mestinnya bisa menguasai komputer, tetapi kenyataannya kemampuan mengoperasikan komputer sangat terbatas. Bahkan masih kalah dengan anak SMP  kelas 7. Sebab siswa kelas 7 sudah bisa mengkses internet dan membuat E-mail  sementara guru baru tersebut belum pernah mengakses internet. Hal ini perlu dipertanyakan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan semasa di perguruan tinggi.

Siswa selalu mengikuti perkembangan teknologi karena ada guru yang membimbing, maka siswa di SMP tersebut merasa gaul dan tidak Gaptek lagi. Pembelajaran seperti ini membuat siswa percaya diri dan tidak canggung untuk berhubungan dengan dunia maya. Siswa mencari artikel untuk membuat kliping tidak perlu mencari koran bekas, tetapi tinggal copy paste melalui internet. Sedangkan guru-gurunya tidak tahu istilah “copy paste” seperti yang dilakukan oleh siswanya.

Revolusi Pendidikan kapan…?
Fenomena di salah satu SMP Negeri tersebut membuat hati menjadi tak sabar untuk melakukan revolusi pendidikan berbasis teknologi. Namun sarjana pendidikan lulusan antara tahun 2000 sampai 2008 saja tidak bisa menguasai ICT dengan baik, maka perlu waktu yang tepat yaitu tahun 2025 untuk melaksanakan revolusi pendidikan berbasis teknologi secara global. Mestinya pengangkatan guru baru harus melalui tes pengetahuan dan ketrampilan penguasaan ICT. Kalau guru tidak mau belajar komputer mulai dari sekarang, dipastikan guru-guru di Indonesia senasib dengan guru di Tiongkok dan di Jerman. Sebab guru-guru di SMP tersebut sekarang sudah ketinggalan jauh dengan siswanya, guru merasa malu dan  merasa gaptek tetapi tidak mau belajar ICT. Jadi revolusi pendidikan berbasis teknologi di Indonesia hanyalah mimpi buruk di siang hari.










Kantin Kejujuran Bangkrut


Kantin Kejujuran di SMU 01 Boyolangu Tulungagung yang di-launching baru 20 hari sudah bangkrut. Kantin dengan modal awal sebesar Rp 1.500.000, pada hari kedua uang terkumpul di kasir hanya Rp 900.000. Selanjutnya pada hari ke-20 uang tersisa di kasir hanya Rp 90.000 dan yang terjadi pada Kantin Kejujuran tersebut tutup.

SMP Negeri 5 Parepare melakukan ujicoba Kantin Kejujuran pada akhir tahun 2008. hasil dari ujicoba tersebut belum menggembirakan karena pada periode Desember- Januari 2009 mengalami kerugia sebesar Rp 88.000 dan pada periode Pebruari-April 2009  mengalami kerugian sebesar Rp 27.000.

Pemerintah Provinsi Sumatra Utara membina PNS dengan Kantin Kejujuran, namun harapan tersebut kandas karena Kantin Kejujuran mengalami kerugian. Kantin Kejujuran dengan modal Awal Rp 500.000, dan dalam waktu satu bulan Kantin Kejujuran tersebut omzetnya tinggal sebesar Rp 250.000.

Kantin Kejujuran yang diprogramkan untuk anak sekolah adalah suatu cara pembentukan karakter jujur sejak dini dan diharapkan akan menjadi generasi yang mempunyai rasa malu untuk berbuat salah atau curang. Mengingat bangsa Indonesia termasuk bangsa yang paling korup di dunia, sehingga Jaksa Agung Hendarman Supandji sangat prihatin. Kerpihatinan Jaksa Agung itu perlu di acungi jempol dengan menggelontorkan program Kantin Kejujuran  di sekolah-sekolah. Program ini sejalan dengan Pasal 30/UU Nomor 16/Tahun 2004 yaitu suatu strategi Kejagung untuk memberantas korupsi dengan cara preventif, represif dan edukatif.

Gagasan KPK dan Kejaksaan tersebut memang bagus dan bisa untuk membina seseorang untuk berlaku jujur dan bertanggungjawab. Karena Kantin kejujuran adalah bentuk penjualan yang mana pembeli tinggal mengambil barang yang diinginkan, membayar dan meletakan uang dikotak yang disediakan sesuai daftar harga serta mengambil pengembalian uang yang telah disediakan tanpa ada penjaga atau pengawas. Alhasil gagasan KPK dan Kejaksaan yang di dengungkan Hendarman Supandji hanyalah isapan jempol belaka.

Kenapa Kantin Kejujuran di Sekolah Bangkrut…?
Hal ini menunjukan bahwa tingkat kejujuran siswa Indonesia sangat rendah. Fenomena yang terjadi dengan bangkrutnya Kantin-Kejujuran di sekolah-sekolah bahwa kurikulum pendidikan tidak lagi sinergi dengan pembentukan sikap jujur. Kurikulum lebih mngutamakan pembelajaran aspek kognitif (pengetahuan) sementara aspek afektif (sikap) dikesampingkan. Siswa dijejali dengan ilmu-ilmu logika, sehingga siswa mengalami mati rasa alias tidak punya perasaan. Siswa hanya tahu tentang konsep-konsep kebenaran menurut dirinya sendiri. Sehingga siswa tidak tahu kalau dirinya berbuat salah dan merugikan orang lain. Bahkan Kantin Kejujuran yang diujicobakan di Pemprov Sumtra Utara juga mengalami kerugian. PNS yang sudah dewasa dan mempunyai penghasilan cukup-pun tidak bisa dipercaya. Mereka tidak punya rasa malu kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui. Berarti sikap ketidakjujuran sudah merambah di segala sektor dan di semua umur.

Apakah gurunya bisa jujur…?
Beberapa pengamat pendidikan sering berteriak baik di media elektronik maupun surat khabar. Teriakan pengamat pendidikan tersebut menyangkut sikap dan perbuatan oknum guru dan kepala sekolah yang berbuat curang dalam pelaksanaan UNAS dan ketidak transparantnya dalam pengelolaan keuangan sekolah. Masalah-masalah inilah yang perlu mendapat perhatian serius oleh semua elemen masyarakat.

Pendidikan merupakan proses pembelajaran dalam rangka pencapaian kompetensi peserta didik. Proses pembelajaran yang baik dan benar akan menghasilkan peserta didik  yang beraklaq mulia. Dengan alasan ingin mencapai target kelulusan 100%, maka guru dan kepala sekolah menghalalkan segala cara. Guru ingin naik pangkat atau lulus fortofolio sertifikasi-pun tidak sedikit yang berbuat curang, sehingga Dr. Baedhowi Dirjen PMPTK Depdiknas menyatakan prihatin dengan adanya guru yang tidak jujur (Suara Merdeka, 18 Juni 2009).

Kembali pada tema Kantin Kejujuran disekolah yang bangkrut, bahwa untuk membentuk sikap mulia memang perlu diawali dari sumbernya yaitu melakukan perubahan secara komprehensip. Kurikulum pendidikan nasional perlu disinergikan dengan pembentukan sikap mulia, guru bisa memberikan contoh jujur pada anak didiknya dan perilaku pejabat yang adil dan tidak arogan.









SBI - Sekolah Bertaraf Internasional  Yang Salah Kaprah

Digulirkannya beberapa sebutan/label status sekolah, maka sekolah-sekolah berlomba-lomba meningkatkan kualitas pembelajaran agar mendapatkan sebutan yang digulirkan pemerintah. Sebutan itu antara lain SSN (Sekolah Standard Nasional), RSBI (Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Sekolah dengan mendapat sebutan tersebut tentunya menjadi daya tarik bagi masyarakat yang ingin bersekolah. Secara prestice sekolah tersebut telah terangkat nilai jualnya untuk menawarkan produk-produk kurikulum pembelajaran dan hasil yang akan dicapai.

SBI dan Reguler apa bedanya…?
Dengan sebutan Bertaraf internasional tetunya sekolah telah memberlakukan bahasa pengantar dengan menggunakan bahasa Inggris dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada mata pelajaran tertentu. Dalam satu rombongan belajar tidak lebih dari 28 siswa tiap kelas, ruangan ber-AC, jam belajar ditambah, biaya operasional lebih mahal, fasilitas lebih lengkap (mewah) dan pemerintah mengalokasikan dana blockgrant Rp 300 hingga Rp 500 juta pertahun. Konsep demikian diharapkan akan menghasilkan siswa dengan kompetensi akademik yang tinggi dan setara dengan pelajar di negara-negara Eropha.
Sementara bagi sekolah regular satu robongan belajar 36 sampai 40 siswa, ruang tidak ber-AC, fasilitas tidak lengkap (mewah), menggunakan pengantar bahasa Indonesia dan sekolah tidak mendapat blockgrant. Jadi perbedaan yang mendasar adalah fasilitas dan biaya operasional pembelajaran.

SBI untuk siapa…?
Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang rata-rata miskin, dipastikan SBI hanya untuk kalangan siswa dari keluarga menengah keatas. Walau siswa nilai akademiknya rendah, tetapii bisa masuk sekolah SBI karena  dari keluarga kaya. Dengan demikian siswa dari keluarga miskin dilarang masuk pada Sekolah Bertaraf Internasional. Sekolah telah mem-vonis bahwa siswa miskin tidak akan mampu membayar biaya operasional sekolah yang telah ditentukan.

Menurut Dekan FMIPA UNES Drs. Kasmadi Imam Supardi MS, (Suara Merdeka, 7 Juli 2009), bahwa keefektifan sekolah bukan pada sebutan-sebutan tersebut tetapi lebih pada seberapa besar tujuan sekolah yang telah direncanakan dan hasil yang dicapai. Dana blockgrant ratusan juta yang digelontorkan pemerintah akan sia-sia apabila majemen pengelolaan keuangan sekolah dan proses pembelajaran tidak efektif.

SBI sudah empat tahun berjalan sampai sekarang dan apabila kualitas sekolah tersebut tidak lebih baik maka Depdiknas akan menghentikan blockgrant dan status SBI di cabut kemudian dikembalikan menjadi sekolah reguler/biasa. Kualitas yang dimaksud adalah sesuai 8 Standard Nasional Pendidikan (SNP), akreditasi dan penjaminan mutu (Suara Merdeka, 21 Juli 2009).

Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Yoesoef, bahwa pembelajaran menggunakan pengantar bahasa Inggris menjadikan bangsa Indonesia rendah diri. Matematika yang disampaikan dengan bahasa Inggris nilainya tidak akan lebih tinggi daripada disampaikan dengan bahasa Indonesia. Orang Amerika bisa maju bukan karena bahasa Inggris tetapi karena mereka bisa menghayati nilai-nilai kemajuan itu dengan pengembangan otaknya (Suara Merdeka, 11 Juli 2009).

Orang Jepang adalah kemampuan berbahasa Inggrisnya paling jelek di dunia. Mereka belajar di negerinya sendiri dan sangat bangga dengan bahasanya itu. Pelajar Jepang tidak suka dengan bahasa Inggris dan sekolah-sekolah di Jepang menggunakan pengantar bahasa Jepang. Namun hasil pendidikan yang dicapai bangsa Jepang bisa merambah keseluruh dunia. Orang jepang setelah lulus sekolah mampu menduduki pucuk-pucuk pimpinan perusahaan beskala Internasional. Mereka lebih kreatif serta mempunyai etos belajar dan bekerja sangat tinggi.

Internasionalisasi lembaga-lembaga pendidikan Indonesia bisa menyesatkan bangsa Indonesia sendiri. Pelajar ber-asumsi bahwa bahasa Inggri-lah satu-satunya bahasa yang membuat suatu negara menjadi maju. Padahal kualitas lembaga pendidikan di Jepang menduduki ranking teratas dunia bukan karena bahasa Inggris tetapi lebih pada hasil pembelajaran yang dicapai dan penghayatan nilai-nilai pendidikan.

Jadi Indonesia perlu belajar dengan bangsa Amerika atau bangsa Jepang. Bahasa Inggris bukanlah bahasa yang menjadikan bangsa Amerika dan bangsa Jepang menjadi  maju. Pelajar Indonesia belajar di Indonesia dan hasil belajar untuk mambangun Indonesia. Maka sebaiknya pelajar Indonesia harus ditumbuhkan sikap untuk berbangga dengan  bahasanya sendiri sesuai dengan “Sumpah Pemuda”.

0 komentar:

Posting Komentar