Meskipun budidaya ayam ras petelur sudah
berkembang sejak akhir tahun 1960an, namun hingga kini penyebarannya
masih belum mampu menjangkau kawasan terpencil. Hingga tidak
mengherankan di beberapa kabupaten di Kalimantan, Maluku dan Papua,
harga satu butir telur ayam ras mentah, bisa mencapai Rp 1.000,- sd. Rp
1.500,- per butir. Berarti per kg. antara Rp 16.000,- sd. Rp 24.000,- Di
kota Nunukan, Kalimantan Timur, kebutuhan telur ayam ras malahan
dipasok dari Tawao, Sabah, Malaysia. Sebab mendatangkan telur dari
Tarakan, biaya transportasinya (2 jam speed boat) justru lebih tinggi
dibanding dengan membelinya di Tawao (0,5 jam speed boat atau 1 jam long
boat).
Di kota Nunukan, budidaya ayam ras
petelur skala rumahtangga, juga masih kalah efisien dibanding dengan
membeli telur dari Tawao. Lain halnya di kep. Kei (Maluku Tenggara)
beberapa kabupaten di Papua dan juga Kalimantan. Kecuali di Kalsel.
Sebab di provinsi ini, pangsa pasar telur didominasi oleh itik alabio
dari Amuntai. Peternakan ayam ras petelur di Kalsel memang berkembang
cukup baik, namun skalanya sudah sangat besar. Karenanya dari segi
efisiensi tetap bisa bersaing dengan telur itik alabio hasil peternakan
rakyat yang efisiensinya juga sangat tinggi. Satu ekor itik alabio,
dalam waktu satu tahun mampu bertelur sampai 250 butir (ayam ras
rata-rata 270 butir).
Karenanya, sebelum memulai usaha
agroindustri telur ayam ras, terlebih dahulu harus dihitung kebutuhan
pasar. Yang dimaksud sebagi pasar dalam hal ini bisa berupa konsumen
langsung, pedagang pengumpul, pedagang pengecer di pasar/warung. Yang
disebut sebagai konsumen langsung pun terdiri dari dua macam. Pertama
konsumen rumahtangga, kedua konsumen khusus berupa asrama, rumahsakit,
perusahaan roti/kue, hotel dan restoran. Konsumen rumahtangga sebenarnya
tidak pernah membeli telur secara langsung ke produsen, melainkan ke
warung setempat. Kecuali di lingkungan kecil yang masih tertutup.
Misalnya di kompleks transmigran.
Kebutuhan riil pasar yang telah dihitung
ini, akan menentukan populasi ayam yang akan dipelihara. Misalnya,
perkiraan kebutuhan pasar rata-rata 50 kg. telur per hari atau 18,25 ton
per tahun. Bobot telur ini harus dikonversikan menjadi butir (16 butir
per kg), hingga kebutuhan pasar per tahun mencapai 18.250 kg. x 16 =
292.000 butir. Dengan kemampuan bertelur rata-rata 270 butir per tahun,
maka untuk memenuhi kebutuhan pasar 50 kg. per hari, harus dipelihara
292.000 : 270 = 1.081, 481 atau dibulatkan menjadi 1.200 ekor.
Pembulatan ke atas ini untuk mengantisipasi mortalitas (tingkat kematian
ayam).
Kalau harga jual telur di tingkat
konsumen Rp 8.000,- per kg. maka harga per butirnya Rp 500,- Harga pokok
telur berikut keuntungan peternak 70% dari harga di tingkat konsumen
atau Rp Rp 350,- per butir. Dari nilai tersebut 70% atau Rp 245,-
merupakan biaya pakan. Sisanya yang Rp 105,- merupakan penyusutan induk
(Rp 50,-) kandang (Rp 15,-) biaya tenaga kerja Rp 20,- operasional Rp
15,- dan keuntungan peternak Rp 15,- Harga pokok Rp 350,- per butir,
setelah dikurangi keuntungan Rp 15,- menjadi Rp 335,- merupakan biaya
yang harus disediakan oleh peternak. Hingga untuk memproduksi 292.000
butir telur per tahun, diperlukan biaya 292.000 x Rp 335,- = Rp
97.820.000,-
Namun kebutuhan modal secara riil tidak
akan sebesar itu. Sebab sejak awal bulan IV, ayam sudah mulai bertelur
dan hasilnya bisa dijual. Hingga modal yang harus dikeluarkan hanyalah
biaya investasi kandang, induk ayam, pakan ayam sebelum berproduksi,
tenaga kerja dan biaya operasional dengan nilai Rp 90,- x 292.000,- = Rp
26.280.000,- atau dibulatkan menjadi Rp 30.000.000,- sd. Rp
35.000.000,- Pembulatan ke atas ini diperlukan untuk menjaga likuiditas
usaha. Sebab ketika telur dibawa ke pasar atau konsumen, tidak akan
segara menghasilkan uang cash. Bisa saja pembayaran berupa cek atau giro
mundur. Kebiasaan pasar swalayan misalnya, pembayaran baru bisa
dicairkan paling cepat dalam jangka waktu 21 hari sejak memasukkan
barang.
Dengan modal antara Rp 30.000.000,- sd.
Rp 35.000.000,- mulai bulan IV akan diperoleh omset harian Rp 350,-
(harga di tingkat peternak) x 800 (butir telur = 50 kg) = Rp 280.000,-
Dari omset tersebut, marjin yang diperoleh peternak adalah Rp 15 x 800 =
Rp 12.000,- per hari atau Rp 360.000,- per bulan. Dengan populasi ayam
yang hanya 1.200 ekor, maka pemeliharaannya bisa dilakukan oleh tenaga
keluarga sendiri sebagai sambilan. Hingga dari upah tenaga kerja Rp 20,-
per butir, keluarga tersebut masih bisa memperoleh pendapatan Rp 20,- x
800 = Rp 16.000,- per hari atau Rp 480.000,- per bulan. Total dengan
keuntungan beternak, penghasilan keluarga tadi akan mencapai Rp
480.000,- + Rp 360.000,- = Rp 840.000,- per bulan.
Dengan perhitungan tersebut, maka minimal
kebutuhan pasar yang bisa memberikan peluang usaha budidaya ayam
petelur adalah 50 kg. per hari. Kurang dari angka itu akan menjadi tidak
efisien. Lebih dari jumlah tersebut, diperlukan tambahan tenaga kerja
untuk pengelolaan. Perhitungan ini menggunakan patokan harga telur Rp
8.000,- per kg. di tingkat konsumen. Apabila harga telur mencapai Rp
10.000,- sd. Rp 25.000,- per kg, maka prosentase keuntungan peternak
akan tetap sama. Sebab perbedaan nilai nominal harga telur ini juga juga
akan berdampak sama terhadap biaya produksi dan pengeluaran harian di
kawasan tersebut yang juga cukup tinggi.
Tingkat pendapatan peternak sebenarnya
masih bisa lebih ditingkatkan lagi, apabila komponen biaya pakan bisa
ditekan lebih rendah. Nilai pakan Rp 245,- dari tiap butir telur,
sebenarnya merupakan nilai pakan ayam termasuk pada saat tidak bertelur.
Hingga sebenarnya nilai riil pakan per hari adalah 270 : 365 X Rp 245,-
= Rp 181,23. Nilai komponen biaya pakan itu masih mungkin ditekan
sampai ke tingkat Rp 160,- per hari (0,1 kg. atau Rp 1.600,- per kg).
Caranya dengan membeli tepung ikan, tepung tulang, tepung grit, jagung
giling, tepung casava dan bungkil kemudian mencampurnya. Dengan cara
itu, peternak mampu memperoleh tambahan marjin Rp 21, 23 x 365 : 270 =
Rp 28,69 untuk tiap butir telur yang diproduksinya, atau per hari Rp
28,69 x 800 = Rp 22.952,- atau Rp 688.560,- per bulan.
Rata-rata keluarga Indonesia dengan 5
jiwa (2 orangtua 3 anak), akan mengkonsumsi telur 1 kg. selama 5 hari,
atau per hari hanya 0,2 kg. Hingga kawasan dengan kebutuhan telur 50 kg.
per hari, haruslah berpopulasi minimal 250 kk. Kota-kota kabupaten di
kawasan terpencil di luar Jawa, bisa berpopulasi di atas 1.000 kk.
Hingga di kota kabupaten dengan populasi 1.000 kk. tersebut berpeluang
untuk membuka usaha peternakan ayam petelur bagi 4 keluarga @ 1.200 ekor
atau 2 keluarga dengan populasi ayam 2.400 ekor. Semakin besar populasi
suatu kota kabupaten, maka semakin besar pula peluang untuk
membudidayakan ayam petelur.
Selain menghasilkan telur, usaha budidaya
ayam petelur juga masih menghasilkan ayam afkir. Rata-rata ayam petelur
harus diafkir pada minggu ke 55 sd. 65 sejak mulai berproduksi. Hingga
masa produksi ayam ras petelur hanya sekitar 1 tahun 20 hari sd. 1 tahun
3 bulan. Ayam petelur afkir bisa dijual ke pedagang ayam pedaging atau
ke pedagang sate ayam. Kebanyakan ayam petelur afkir banyak diserap oleh
tukang sate ayam. Harga ayam afkir ini bervariasi antara Rp 10.000,-
sd. Rp 15.000,- per ekor hidup. Tinggi rendahnya harga ayam afkir ini
sangat ditentukan oleh pasokan ayam pedaging. Kalau pasokan ayam
pedaging sedang kurang, padahal kebutuhan tetap, maka harga daging ayam
termasuk ayam petelur afkir akan tinggi. Sebaliknya kalau pasokan ayam
pedaging sedang melimpah sementara kebutuhan tetap, maka harga ayam
petelur afkir juga akan ikut jatuh.
Ayam ras petelur, terdiri dari jenis
berbulu putih dan cokelat. Ayam petelur jenis berbulu putih antara lain
Hubab leghorn, Hisex white dan Ross white. Jenis berbulu cokelat antara
lain Hubbarb golden comet, Hisex brown dan Ross brown. Di Indonesia,
jenis berbulu cokelat lebih populer dibanding dengan jenis berbulu
putih. Benih ayam ras petelur dibeli dalam bentuk DOC (Day Old Chick =
anak ayam umur sehari). DOC ini harus dipelihara dalam kandang koloni
berlantai litter (sekam padi) dan harus diberi pemanas. Ada banyak alat
pemanas kandang ayam, antara lain berupa lampu listrik, lampu minyak,
kompor minyak dan kompor berbahan bakar briket batubara.
Setelah anak ayam tumbuh menjadi ayam
dara (umur 2,5 sd. 3 bulan), mereka harus dipindahkan dari kandang
koloni ke kandang baterai (kandang individual = kandang cage). Kalau
selama dalam kandang koloni ayam diberi pakan grower (untuk
pertumbuhan), maka setelah berada di kandang baterai pakannya berupa
pakan ayam petelur (layer). Umumnya kandang baterai untuk ayam petelur
terbuat dari bambu dan logam. Kandang bambu lebih cocok untuk usaha
peternakan ayam petelur skala rumahtangga, sementara kandang dari logam
cocok untuk usaha peternakan skala besar. Kandang bambu investasinya
sangat rendah, namun penyusutannya juga cepat. Sementara kandang logam
biaya investasinya tinggi namun penyusutannya juga lama. Hingga
sebenarnya, kandang logam jatuhnya lebih murah dibanding kandang dari
bambu.
Untuk memulai beternak ayam petelur di
lokasi yang terpencil, harus diawali dengan magang (bekerja sambil
belajar) pada peternak yang telah berpengalaman. Sebenarnya pemagangan
ini bisa dilakukan oleh pemerintah daerah, pengusaha pertambangan, HPH
dll, termasuk LSM dan lembaga keagamaan. Caranya, dengan mengirim
kader-kader yang diharapkan akan mampu mengembangkan ternak ayam di
kawasan tersebut, ke lokasi yang sudah ada peternakan ayamnya. Setelah
selesai magang, mereka perlu dicarikan modal untuk memulai usahanya.
Dengan cara demikian, usaha peternakan ayam petelur untuk rumahtangga
akan mampu berkembang di kawasan yang terpencil.
0 komentar:
Posting Komentar